🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁

97 28 4
                                    

•Uta•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Uta•

"Sebentar ...," lelahku

Aku duduk di lantai yang masih kering. Kain pel di tanganku terasa lembab dan aneh, rasanya ingin sekali aku segera menyingkirkannya, tapi aku belum selesai mengepel.

Aku pikir 'membersihkan rumah' tidak bakal selelah saat aku menanam di kebun kemarin. Ternyata salah. Salah besar!

Kenapa bisa? Padahal, aku hanya diberi satu tugas. Menyeka seluruh lantai dengan kain yang dibasahi. Tindakannya tidak seberagam kemarin.

Maza menghampiri dengan gelas sederhana yang mengilap bersih di tangan kiri. Dia mendapat bagian 'mencuci piring'. "Kalau tidak kuat lagi, biar aku yang melanjutkan, Uta."

Aku mengatur napas agar lebih tenang. "Tidak." Aku bangkit dari duduk, kembali mengusap lantai—dalam posisi setengah berjongkok—dengan kain sembari bergeser mundur pelan-pelan. "Aku bisa."

"Jangan memaksakan diri, ya?"

"Ummm," balasku tanpa melihatnya.

Hari sudah sangat terang ketika tugas 'membersihkan rumah' sudah selesai. Aku dan Maza beristirahat dulu di ruang tamu sebelum kembali ke rumah Lofi.

"Kalian belum makan siang, kan? Bagaimana kalau kita makan sama-sama?" ajak Radit yang sedang membuka daun lebar yang menutup sebuah panci. Dia mencium aroma dengan bersemangat dan tersenyum. "Lauk hari ini enak plus sehat banget, loh! Ibuku yang masak!"

"Kami boleh makan secara cuma-cuma?" tanyaku.

Anak laki-laki itu tertawa kecil. "Mana mungkin aku minta upah makanan sama kalian yang udah beres-beres rumahku secara cuma-cuma, ya, kan?"

Senyumku otomatis merekah, meski aku belum paham kenapa.

Maza bangkit dari duduknya. "Mari kubantu menyusun alat makannya di meja."

"Aku juga mau bantu!" kataku.

Selagi aku dan Maza belajar menyiapkan peralatan makan di meja, Radit membangunkan kakaknya. Aku terdiam melihat daun-daun yang digulung membentuk pipa, panjangnya tidak lebih dari jari kelingking, dan disusun pola lingkaran di dalam panci aluminium yang tadi Radit lihat.

"Ini ... makanan?" tanyaku ke Maza.

Maza berhenti menuangkan air dari 'teko' ke gelas dan melihat benda yang kutunjuk. "Dari baunya, tercium seperti makanan," balasnya.

Ada makanan lain yang sudah kukenal seperti sayuran rebus yang diberi bumbu kacang dan bakwan. Namun, yang penampilannya begitu baru kali ini kulihat.

"Mereka masih di sini?" Athyana mengintip dari celah pintu. "Kamu makan duluan aja, deh."

"Kalau gitu, aku gak jadi makan," kata Radit.

"Ya udah—"

"Aku padahal udah laper banget sampai perutku perih, tapi karena Kak Anna gak mau makan bareng, jadi aku gak makan juga."

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang