🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁

95 19 3
                                    

•Anna•

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•Anna•

Orang tua Saga datang ke rumahku tepat setelah tirai malam terpasang di langit. Dan aku tertidur dari sore sampai pagi. Mereka tidak membangunkanku sama sekali. Itulah mengapa, aku sangat kaget mendengar keputusan Ibu dan Ayah ketika kami sedang sarapan.

"Ibu dan Ayah ikut aku ke Bumi?" ulangku tidak yakin.

"Radit juga ikut," tambah Ibu.

Radit berucap 'yeaaay' dengan suara parau—dia baru bangun.

"T-tapi kenapa?" Suaraku agak meninggi.

"Kami tidak bisa mempercayai siapa pun untuk menjagamu di sana, makanya kami putuskan kalau kamilah yang akan melakukannya," timpal Ayah dengan logat bicara cepat dan jelas seperti pak guru.

"Ibu dan Ayah tidak bisa begitu," kataku spontan. "Maksudku, kita akan pergi ke planet yang tidak kalian ketahui. Kalian akan syok berat."

"Kamu sama Radit pernah tinggal di sana sendirian. Tentu kami akan kaget, tapi kami akan segera beradaptasi." Ibu memukul kecil punggung tangan Ayah karena pria itu mengambil tempe goreng dengan tangan yang dia pakai untuk menyuap. Ibu pun mengambilkan tempe untuk Ayah dengan tangannya yang masih bersih. "Lagi pula, kami ras ganjil sudah terlalu sering berpindah-pindah tempat tinggal. Kami akan berbaur dengan cepat."

"Tapi," rengutku, kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan argumen yang tepat.

"Kalian perlu keberadaan orang dewasa," kata Ibu mulai tegas. "Tiga orang anak remaja tidak bisa menjaga satu sama lain dengan benar. Ibunya Saga juga setuju kalau Ibu pergi, sekalian menjaga putranya."

Ada benarnya, sih ... tapi, harusnya Ibu bangunkan aku agar aku ikut bicara dengan kalian. Ini tentangku, kan?

Mungkin Ibu dan Ayah sudah tau kalau aku bukan orang yang berpendirian teguh. Yah, mereka benar. Aku memang biang masalah yang tak bisa menyelesaikan masalah sendiri dan selalu menyeret orang lain agar kesusahan juga. Mau sampai kapan pun, aku akan seperti itu.

Selalu begitu.

"Kalau kamu menjumpai Amara sebelum sore, langsung aja bilang keputusan Ibu padanya, ya?" kata Ibu. "Ini hari terakhir Ibu berladang sebelum pergi, jadi Ibu ingin mengerjakan lebih banyak hal sebelum meminta izin cuti. Ayah juga ikut bantu-bantu."

"Apa kamu berniat membawa sayur ke planet lain, Lya?" tanya Ayah. "Di sana pasti ada sayur juga, bukan begitu, Dit, Na?"

"Benar," kataku.

"Iya," balas Radit.

Ibuku menatap Ayah dalam diam. "Bukan itu. Intinya, Ayah juga ikut sama Ibu," tekan wanita itu.

Saat Ibu bangkit sembari membawa piring kotor sendiri, Ayah bergumam pelan pada kami. "Meskipun Ibumu yang mengambil keputusan nekat itu, dia sebenarnya sangat gugup." Ayah melirik Ibu sebelum lanjut berkata lagi. "Ayah tau kami sudah seenaknya, tapi kami peduli padamu. Ayah mohon, jangan merengut lagi tentang keputusan itu di depan Ibumu, ya?"

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now