🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁

86 28 15
                                    

•Anna•

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•Anna•

Pohon sequoia yang kutempati tidak memiliki bangunan di tingkat tiga dan tingkat empatnya, sedangkan toko di tingkat satu sedang tutup. Jadi—untungnya—tidak ada korban jiwa. Pohon itu miring sedikit, sisi kanannya ditempeli bongkahan es yang datang dari sisi kiri toko es Kak Min di sebelah. Aku lega bukan main karena dia tidak bisa mengomeliku secara langsung karena sibuk berjualan. Semoga toko es itu ramai sampai seterusnya.

Seperti ini rentetan kejadiannya menurut warga yang menyaksikan dari luar; tanah di sekitar akar pohonku retak dan retakannya memanjang sampai ke sekitar akar dua pohon di sebelah kiri; pohon yang paling kiri longsor ke dalam bersama tanah, kemudian ambruk ke pohon di sebelah dan pohon yang ditabrak ambruk juga ke pohonku bersamaan dengan miringnya pohon di depan rumahku—pohon rumah Saga.

Air yang ditampung di puncak setiap pohon tumpah ke luar diduga karena tangan rambatnya patah dan runtuh karena guncangan serta tabrakan. Alhasil, beberapa toko, serta warga yang berjalan di jembatan tingkat satu dan di antara pepohonan jadi basah kuyup.

Beberapa warga yang melihatku sempat memberi lirikan sinis, mata yang membelalak dan ekspresi takut. Tentu saja. Aku orang jahat yang membuat getaran besar tadi muncul dan membuat kerusakan di sana-sini. Aku yang membuat keseharian mereka terganggu. Sebaik-baiknya warga Nascombe, mereka tidak akan tidak waspada terhadap sumber bahaya.

Dadaku nyeri membayangkan Amarah dan luapan benci dari masyarakat yang akan kualami tak lama lagi. Padahal aku berniat untuk membaur sedikit demi sedikit. Kalau sudah begini, tidak akan ada yang mau kenal denganku.

Uta juga ....

Kenapa aku selalu menyusahkan orang, sih?

Ngomong-ngomong, yang tinggal di rumah paling kiri adalah keluarga surai merah dari ras Ganjil, yang tidak lain adalah keluarga Taro. Ayah dan Ibunya sedang keluar rumah, jadi yang ada di sana di waktu kejadian adalah Om Jo dan Taro. Sementara rumah di sebelahku benar-benar kosong karena ditinggal kerja pemiliknya.

Om Jo tampak malas, kesal dan muak sembari melangkah mendekati kami. Dia menggendong Taro yang kini sedang menjabarkan pengalaman heboh tadi di pundaknya. Pria bersurai merah diikat rendah itu memakai pakaian ras daun tanpa lengan—terlihat mengintimidasi dengan otot lengan menggembung—dan celana longgar panjang berwarna cokelat latte. Taro memakai pakaian serupa dengan celana selutut, tapi dia terlihat menggemaskan.

Tangan anak laki-laki itu bergerak tak beraturan, berusaha mendeskripsikan juga. "Tadi tiba-tiba 'drrt! Drrrt!' lantainya! Terus, terus, rumahnya miring, atapnya jatuh! Rak kayu jatuh 'bum!'. Terus, Om Jo gendong aku ke luar sambil teriak-teriakan dan kami lari sampai ke halaman Kastel!" antusiasnya.

"G-gitu, ya?" ungkap Radit.

"Kali ini ada apa? kamu emosian dan kemampuanmu jadi lepas kendali?" tanya Om datar.

Aku hanya sanggup berkata dengan menyesal, "maafkan saya, Om ...."

"Kakak gak emosian. Kemampuannya benar-benar muncul sendiri tanpa ada pancingan apa-apa, Om," bela Radit.

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now