🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁

92 22 2
                                    

•Anna•

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•Anna•

Nasi goreng kami sukses dengan bawang goreng yang terlalu gosong dan rasanya yang sedikit lebih asin dari yang diperkirakan. Kami menyantapnya sembari duduk di lantai beralaskan kain tirai, di tengah-tengah kericuhan perabot rumah yang belum kembali ke tempatnya.

"Enak, kok," kata Radit. Dia terus mengunyah-minum-mengunyah-minum.

Ayah mengangguk-anggukkan kepala dengan mata membelalak pada Ibu dan aku. "Kalian kenapa tidak membuka kedai makan saja?"

Ibu menghempas napas sembari tersenyum. "Sudahlah, kami tau kalian merasa keasinan. Tidak usah merasa terbebani untuk menghabiskan nasinya."

"Ini ada acar," kataku, menggeser potongan timun, wortel dan jagung muda pada Ayah. "Ini penawar asinnya."

"Itu Anna yang buat sendiri, loh." Ibu mencubit kecil pipiku. "Aduh, kalau tau begini, Ibu gak bakal sok-sokan bisa masak. Jadi minder."

Refleks, aku tertawa kecil. Tawa yang biasa kulakukan ketika digoda Mama dan Papa. Kini tawa itu secara natural muncul di tengah keluarga baruku.

Aku jadi risau karena merasa sesenang ini.

Terlalu senang bisa mengundang hal buruk untuk terjadi tak lama setelahnya.

"Oh iya, Bu. Aku mau ikut misi sama Mbak Amma beberapa hari lagi," ucap Radit tiba-tiba.

Bisa kurasakan bahwa suasana hangat tadi langsung sirna dan menegang. Aku bahkan sampai tidak berani melanjutkan perjalanan suapan nasi goreng di tanganku yang terhenti di udara.

Aku melirik Ayah yang gerakan makannya melambat sembari menunggu respons Ibu. Agaknya saat ini kami memikirkan hal yang sama.

"Kenapa kamu ikut?" tanya Ibu, nada suaranya tidak marah, tapi cukup untuk membuat orang tau kalau beliau sedang serius. "Kamu bukan prajurit Iredale."

Suara Radit memelan. "Iya, sih ...."

Ibu meneruskan menyendok Nasi goreng di piringnya. "Nah, itu kamu mengerti sendiri. Kalau tidak ada alasan kuat keberadaan kamu di sana, kamu tidak perlu pergi."

"Lagi pula, kamu gak kasihan sama Kakak kamu yang nanti bakal sendirian di rumah sepanjang siang?" lontar Ayah.

Radit memberi tatapan meledek padaku. "Mana mungkin kesepian. Kak Anna udah punya Bang Saga."

Aku tersedak mendengarnya memanggil Saga dengan 'Bang'.

"Aaa, begituuu." Ibu menimpali dengan nada yang meledek juga.

Ayah malah ikut-ikutan. "Anna, dekat sebagai teman boleh-boleh aja. Gak perlu malu."

"Iiih, apa, sih," kesalku ke mereka.

Setelah melihat respons Ibu, ada bagian dari diriku yang ingin melakukan tindakan nekat Radit juga. Sayangnya, aku tidak memiliki keberanian sebesar adikku. Bahkan untuk memberitahu apa yang terjadi siang tadi saja aku masih berpikir ribuan kali.

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now