1. Teman Lama

519 56 7
                                    

Hari baru dimulai dengan cerah, menambah coretan di kalender. Semua orang mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing, termasuk memulai pekerjaan, pergi ke sekolah, dan lainnya.

Sinar matahari menembus jendela, mengenai laki-laki yang masih sibuk menulis jurnal hariannya sembari terduduk di lantai. Laki-laki itu tak terganggu, malah terkesan tak peduli. Dia sibuk mencurahkan isi hatinya di buku jurnal.

Jika ditanya, apa rencana Jisoo hari ini, Jisoo akan jawab belajar memasak. Hanya itu. Benar-benar hanya itu. Dari jam 10 pagi sampai bertemu kembali dengan jam 10, versi malam, dia akan memasak di dapur yang memang khusus dibuat untuknya.

Untuk ukuran seorang laki-laki berumur 22 tahun, Jisoo akan dianggap aneh karena tidak bekerja. Di dahi Jisoo seakan-akan ada cap bahwa dia hanya tukang menghabiskan uang orang tua di mata tetangga. Aslinya, Jisoo memiliki pekerjaan sampingan yang bisa dikerjakan dari rumah.

Pekerjaan utamanya adalah sebagai pemilik kafe di pusat kota. Namun, dirinya sebagai pemilik kafe lenyap begitu saja semenjak 6 bulan lalu. Dia memutuskan untuk rehat dari pekerjaan utamanya itu.

Kafe yang dibangun kebanyakan berasal dari si mantan, Ahn Woojung, walau Jisoo tetap ada memberi sumbangsih. Namun, disana banyak sekali kenangan indah yang bercampur padu dengan hari dimana Woojung mengaku bahwa dia berselingkuh.

Maka dari itu, Jisoo memutuskan untuk beristirahat, setidaknya sampai dia bisa melupakan hal itu. Tak dirasa 6 bulan berlalu dengan cepat, dan Jisoo masih tenggelam dalam lautan kesedihan. Dia merasa begitu gagal dalam percintaan.

Apakah dia begitu membosankan sampai-sampai Woojung mencari orang lain? Apakah dia tak menarik di mata Woojung? Ah, memikirkan itu kembali membuat mata Jisoo memanas. Pandangannya mendadak buram karena air mata.

Tak mau buku jurnalnya basah karena air mata, Jisoo lap kasar air matanya. Susah rasanya untuk melepaskan Woojung yang sudah dia kenal bertahun-tahun lamanya. "Soo?" Panggilan dari ibunya, Saejin, menyadarkan dirinya.

Segera dia menyahut, "Ya? Buka aja, Ma." Setelah sahutan, pintu kamarnya terbuka, menampakkan Saejin dengan pakaian indah, yaitu gaun selutut berwarna merah muda pudar. Walau kini sudah berusia 51 tahun, wajahnya masih berseri.

"Kamu nangis, ya, sayang?" tanya Saejin yang sadar bahwa bawah mata Jisoo basah. Dia bukan hanya membesarkan Jisoo, melainkan sembari mengenalnya lebih jauh. Dia tahu persis bagaimana gerak gerik Jisoo jika sedang senang, sedih, dan marah.

"Aku nggak nangis, Ma," elak Jisoo, mengulas senyum kecil. Jisoo tahu, bahwa Saejin adalah ibunya. Tak baik untuk membohongi orang tua, apalagi yang sudah membesarkannya.

Namun, dia merasa ini adalah masalahnya. Biarkan dia yang menyelesaikan ini semua. "Kenapa, Ma, datang ke kamarku?" tanya Jisoo, mengingatkan Saejin pada tujuan utamanya masuk ke kamar Jisoo.

"Mama mau ngomongin tentang Woojung..." Mendengar itu, hati Jisoo mendadak berdegup kencang. Dia berharap mendapatkan kabar. Namun di lain sisi, dia merasa nyeri di hatinya. Terbayang saat dimana Woojung memutuskannya.

"Mama bisa duduk di kasur Jisoo aja, Ma," kata Jisoo sebelum Saejin melanjutkan perkataannya. Pasti sebuah obrolan yang serius, dan Jisoo tak mau Saejin berdiri terus menerus.

Setelah duduk, Saejin melanjutkan. "Kamu tau kan apa yang mantan kamu perbuat?" tanya Saejin yang dibalas anggukan. Jisoo mengerti dengan sangat apa yang dilakukan oleh Saejin kepadanya.

Saejin usap pipi Jisoo yang kini fokus mendengarkan. "Kamu anak satu-satunya Mama yang paling Mama sayang, tapi bisa-bisanya Woojung nyakitin kamu yang Papa kamu sendiri aja nggak pernah," ucap Saejin.

Dia sedih melihat Jisoo yang selalu murung, menyibukkan diri dengan belajar memasak di dapur yang memang dibuatkan khusus untuknya, dan tidak pernah seceria dulu.

Sebelum bertemu Woojung, Jisoo merupakan anak polos yang sangat disayangi. Dia ceria dan ramah. Setelah mengenal Woojung, Jisoo semakin ceria. Terlihat jelas di matanya ada serbuk cinta saat melihat Woojung. Semua itu mendadak hilang terbawa angin setelah Woojung mencampakkannya.

Woojung membawa perubahan besar pada Jisoo. Jisoo tidak seceria dulu. Jisoo hanya tersenyum kecil, tidak selebar dahulu kala. Jisoo bahkan meminta izin untuk tidak bekerja sementara di kafe yang sangat dia banggakan. Kafe yang dia bangun dengan uangnya dan uang Woojung.

"Mama sedih ngeliat kamu sedih, Soo. Kamu kelihatan nggak semangat menjalani hidup. Kamu nggak bisa lepas dari Woojung." Saejin ingat saat Jisoo berkata bahwa dia menyerah, tak sanggup lagi mencari pasangan hidup.

Hati orang tua mana yang tak sedih saat mendengar bahwa anak semata wayang mereka tak lagi ingin menjalin kasih. Saejin berdiskusi dengan Kihyun, menarik satu keputusan. "Maka dari itu, Mama sama Papa ambil kesimpulan buat jodohin kamu sama anak temen Papa."

Jisoo termenung, dijodohkan katanya? Dia dijodohkan dengan orang yang tak dia kenal? Tak mau langsung menyela, Jisoo diam, menunggu Saejin melanjutkan.

"Dia Choi Seungcheol, temen main kamu dulu. Kita nggak memaksakan kamu untuk segera menikah dengan dia, kita ngasih kesempatan ke kalian buat kenal lebih dekat."

Jisoo masih senyap, otaknya terasa terguncang karena keputusan orang tuanya. Dia mengenal siapa itu Choi Seungcheol. Jisoo ingat saat dia kecil, Seungcheol yang lebih tua 5 tahun darinya selalu mengajak bermain setiap kali berkunjung. Sayangnya, mereka putus komunikasi saat beranjak dewasa.

"Mama sama Papa bukannya nggak sayang, tapi nggak mau kamu larut dalam kesedihan. Mungkin dengan membuka hatimu ke Seungcheol bisa buat kamu ngelupain Woojung," tambah Saejin. Rambut lembut anaknya diusap dengan penuh kasih sayang. "Besok Seungcheol bakal datang kesini, kamu siap-siap, ya, sayang?"

Jisoo sadar, akhir Desember-nya yang biasa digunakan untuk memasak kini diisi oleh agenda untuk mendekatkan diri dengan Seungcheol. Mungkin benar apa kata Saejin, dia harus membuka diri untuk orang lain demi bisa melupakan Woojung.

***

Tangannya tertaut, berusaha menghilangkan rasa resah. Jemarinya pun bermain dengan harapan bisa meluapkan rasa gugup. Jisoo yang kini berbalut sweater biru muda dan celana putih jeans terlihat begitu cemas.

Dia tak siap untuk tiba-tiba membuka percakapan dengan Seungcheol yang sudah lama tak dia jumpai. Dia canggung kepada teman bermain masa kecilnya. Mereka tidak bertatap muka sejak 8 tahun lalu, dan dipertemukan kembali saat dijodohkan.

Suara ban mobil yang berdecit terdengar dari depan rumahnya, menambah rasa cemas Jisoo. Kini kakinya bergerak, berharap bisa menyalurkan rasa cemasnya pada lantai porselen.

Mata Jisoo dapat menangkap dengan jelas pergerakan keluarga itu melalui kaca rumahnya. Keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak itu terlihat sangat elegan. Mereka melangkah masuk, disambut dengan baik oleh orang tuanya.

Mereka berpelukan, melepaskan rasa rindu. Kesibukan membuat mereka jarang bertemu. Itu pula yang membuat hubungan Seungcheol dengan Jisoo merenggang. Jisoo ikut berdiri dan langsung bertatap mata dengan Seungcheol.

Seungcheol banyak berubah. Di umurnya yang ke 11 tahun, pipinya terlihat sangat bulat. Sekarang lemak pipinya sudah hilang. Dia juga tumbuh lebih tinggi dari Jisoo yang hanya berbeda 5 tahun.

Saat Seungcheol mengulas senyum, di pipinya tercetak lesung. Penampilan Seungcheol yang sedang memakai kemeja hitam dan dasi ditambah celana kain serta sepatu pantofel itu berbanding terbalik dengan senyumnya yang begitu ramah.

Jisoo hanya bisa tersenyum kecil. Seungcheol tak mungkin setuju dengan perjodohan ini. Seingat Jisoo, Seungcheol memiliki seseorang yang dia suka. Seungcheol bercerita kepada Jisoo yang kala itu berumur 12 tahun bahwa orang yang disukainya memiliki wajah yang cantik dan lebih pendek darinya.

Seungcheol ramah, baik, dan dewasa. Jisoo tak ingin melukai hati Seungcheol karena sifat membosankannya. Lagipula, siapa yang mau lagu lama terulang kembali?

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooWhere stories live. Discover now