10. Gagal

311 38 2
                                    

Dua kepala terlihat sama-sama sedang menunduk. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Satu orang melihat proses yang dilakukan oleh pihak lain dengan teliti. Diperhatikannya lamat-lamat seakan-akan dia sedang melakukan ujian.

Sedangkan yang lain tak merasa terganggu. Dikerjakannya kegiatannya tanpa ada rasa risih. Memang tak risih, tapi sebenarnya dia kelelahan. Kegiatannya tak membutuhkan banyak tenaga, namun dia terlihat seperti tidak bertenaga lagi.

Pikirannya menyedot semua tenaga yang dirinya punya. Dia benci saat tangannya terasa begitu lemah. Dia menyerah dan memutar kepalanya, menghadap ke Seungcheol. "Mau nyoba nggak?" tawar Jisoo sembari mengangkat sedikit plastik berisi adonan. Anggukan antusias Seungcheol didapat Jisoo.

Jisoo mundur sedikit, membiarkan Seungcheol maju dan mengambil alih pekerjaannya. Jisoo terlihat sedang memperhatikan Seungcheol yang tengah memasukkan isi adonan ke cetakan pie, padahal pikirannya melelang buana.

Di dalam otaknya, tercipta sebuah perkelahian hebat.

Jisoo sangat ingin untuk berbicara dengan Seungcheol mengenai perasaannya selama ini. Sudah seminggu mereka mencoba mendekatkan diri, dan selama itu pula Jisoo berada di ambang kebingungan.

Jika Jisoo jatuh cinta pada Seungcheol, apakah Seungcheol mau menerimanya? Cinta pertama Seungcheol bukan tidak membalas, tapi belum membalas. Tidak menutup kemungkinan bahwa dia bisa membalas perasaan Seungcheol.

Jika berakhir seperti itu, bukankah nantinya Jisoo akan kembali patah hati? Lukanya belum benar-benar sembuh. Di saat dia ingin bangkit, dia kembali dijatuhkan. Lagu lama terulang kembali, Jisoo terluka lagi.

Jisoo sadar bahwa dia menaruh hati pada Seungcheol saat mereka bertukar cerita di malam itu. Seungcheol yang peduli itu ternyata juga mendambakan afeksi dari orang lain, terutama dari cinta pertamanya.

Seungcheol mendambakan cinta dari cinta pertamanya, bukan Jisoo. Jisoo tak ingin kembali patah hati karena cintanya tak berbalas. Daripada diakhiri, lebih baik dia yang mengakhiri, bukan?

"Udah jadi semua, nih, Soo." Ucapan Seungcheol membuat Jisoo tersadar. Jisoo lihat pekerjaan Seungcheol yang memang sudah selesai. Semua cetakan sudah terisi penuh oleh isian berwarna merah muda.

"Oh," beo Jisoo, kemudian mengangguk. Jisoo pegang loyang itu dengan tangan kanannya. Dimasukkannya adonan kue yang kebanyakan dibuat oleh Seungcheol ke dalam oven.

Oven yang tertutup adalah pertanda mereka yang akan memasuki sesi senyap. Seperti biasa, mereka akan selalu diam. Tak ada yang membuka suara seakan-akan kesunyian ini adalah teman baik mereka selama ini.

Jisoo berhasil menambahkan satu alasan untuk mengakhiri semua ini. Dia tak bisa memulai pembicaraan, sementara hal terpenting dari sebuah hubungan adalah komunikasi. Bagaimana komunikasi bisa terbentuk disaat tak ada percakapan yang dimulai?

Dia tak bisa menyalahkan Seungcheol. Siapa yang tidak muak jika topik mereka terus-menerus dimatikan? Seungcheol tidak bisa selalu menjadi orang pertama yang memunculkan topik. Seungcheol pasti terkadang ingin Jisoo yang membuat topik.

Kembali lagi, semua kesalahan berpusat pada Jisoo.

Jisoo sudah cukup jahat dengan menjadikan Seungcheol sebagai pelampiasan. Setidaknya, dia bisa melupakan sedikit memori kecil tentang Woojung. Bayangan Woojung perlahan memudar saat Seungcheol kembali muncul di hidup Jisoo.

Sembari memantapkan diri, Jisoo menghela nafas. Dia siap untuk membicarakan hal ini dengan Seungcheol. "Kak," panggil Jisoo. Ingin rasanya dia melanjutkan ucapannya. Entah apa yang menghalanginya sehingga dia perlu mendengar sahutan dari Seungcheol.

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooWhere stories live. Discover now