15. Jika Saja Mereka Saling Berkomunikasi

279 33 2
                                    

Pasir putih yang terhampar, berpadu dengan birunya lautan sangat identik dengan pantai. Sebenarnya ada satu lagi yang terikat sangat kuat dengan pantai, yaitu matahari.

Biasanya pantai akan dipenuhi oleh turis dari mancanegara di musim panas yang biasa terjadi sekitar Juni-Agustus. Mereka siap membuat kulit mereka cokelat dengan berjemur di bawah teriknya matahari.

Desember ini merupakan sebuah pengecualian. Bukannya tanah dibasahi oleh air hujan, yang ada tanah semakin mengering lantaran menyengatnya sinar matahari.

Matahari kini sedang terik-teriknya, berhasil membakar kulit beberapa orang. Topi dirasa-rasa tak bisa menghalangi matahari membakar kulit kepala. Kumpulan orang itu tengah menunggu di tempat parkir. Ada yang mengeluh, ada pula yang hanya diam.

"Buset, panas bener," keluh Soonyoung. Keringat yang mengalir di lehernya diseka menggunakan punggung tangan. Satu tangannya sengaja menarik-narik kemejanya demi menciptakan angin yang akan terperangkap di dalam kemejanya.

Soonyoung lihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12 siang. "Ini Kak Seungcheol mana deh? Udah jam 12, bentar lagi kita disini bisa-bisa jadi bebek panggang kita," ucap Soonyoung, menunjukkan jam tangannya pada Jisoo dan Wonwoo.

Yang merasa bertanggungjawab menggaruk tengkuk, "Ya, maaf, Ci. Kalau bukan suruhan Mama juga aku milih buat nyetir sendiri." Jisoo tentu saja merasa bersalah. Yang memiliki hubungan dia, yang ikutan repot hampir seluruh keluarganya.

Keluarga besar Jisoo sudah cukup lama mengenal keluarga Seungcheol. Namun, hubungannya dengan Seungcheol masih dirahasiakan. Mereka masih ditahap mengenal kembali, kali ini lebih dalam.

Maka dari itu, keluarga besar Jisoo membiarkan keluarga Seungcheol mengikuti acara yang seharusnya untuk keluarga itu menggunakan kartu alasan teman lama.

"Nggak, gua bukan nyalahin lo, cuma ini Kak Seungcheol lama banget. Ngaret. Jadi nggak yakin gue dia anak pebisnis," gerutu Soonyoung. Bibirnya mengerucut, menandakan kekesalannya.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Baru saja dibicarakan, nampaklah Seungcheol yang menuju tempat parkir dengan sedikit berlari. Jisoo bisa mendengar helaan nafas Soonyoung yang kini sudah tidak perlu mengibaskan kemejanya.

"Maaf, maaf. Tadi Ayah nitip banyak barang," jelas Seungcheol langsung setelah kakinya berhenti tepat di depan mereka. Tiga pasang mata itu pun ditunjukkan selembar kertas berisi daftar-daftar barang, mengundang kata 'oh' berjamaah.

Soonyoung menggeleng, "Nggak papa, Kak! Yok, sekarang naik! Panas soalnya!" Ajakan Soonyoung diangguki oleh Seungcheol. Kunci mobil diputar, pintu mobil pun dibuka. Segera saja Soonyoung melompat masuk ke jok penumpang.

Saat Jisoo melihat Wonwoo hampir masuk ke jok penumpang, mendadak ada perasaan yang mengganjal dalam benak Jisoo. Tak ingin duduk di samping pengemudi yang sedang memiliki masalah batin dengannya, Jisoo tahan tangan Wonwoo.

"Nu, kamu duduk di depan, gak papa?"

Mata laki-laki kucing itu menyipit dengan dahi yang mengerut. "Hm? Aku gapapa sih, cuma, kan, kamu yang lebih deket sama Kak Seungcheol," jawab Wonwoo, memberikan sanggahan.

Jisoo tak tahu harus memberikan balasan apa sehingga dia hanya berkata, "Aku mau di samping Hoshi aja." Wonwoo pun mengangguk setuju, membiarkan Jisoo duduk di jok belakang, sedangkan dirinya duduk di samping pengemudi.

Ketika memasuki mobil, Jisoo dapat melihat ekspresi Seungcheol yang bingung. Namun, Seungcheol tidak sama sekali melirik ke belakang. Bisa Jisoo simpulkan bahwa Seungcheol juga memahami keadaan mereka sekarang.

Mobil pun bergerak menuju supermarket yang memang berjarak sedikit jauh dari hotel mereka. Selama di perjalanan, Soonyoung dan Jisoo sibuk memotret diri mereka masing-masing. Di suatu saat Jisoo akan memotret Soonyoung, di lain waktu Soonyoung yang memotret Jisoo. Mereka sibuk dengan dunia mereka.

Lain halnya dengan Wonwoo dan Seungcheol yang terus saja berbincang. Mereka membahas topik yang bersumber dari radio mobil. Bila topiknya sedang membahas tentang isu sosial, mereka utarakan pendapat mereka masing-masing. Bila topiknya menjurus ke pengalaman pribadi, mereka lontarkan pengalaman masing-masing.

Setelah cukup lama mengendarai mobil, Seungcheol akhirnya berhenti di tempat parkir supermarket yang lumayan besar. Ketika pintu mobil dibuka, Soonyoung langsung melompat keluar. "Kira-kira beli apa aja, ya?" seru Soonyoung bersemangat.

"Udah ada di list, jangan over budget." Balasan dari Wonwoo berhasil mematahkan semangat laki-laki yang sering kali mendeklarasikan dirinya sebagai harimau itu. Jisoo yang baru saja keluar dari mobil dan mendengar percakapan kedua sepupunya hanya bisa terkekeh.

Jisoo rangkul bahu Soonyoung, "Dengerin kata Wonwoo. Kita semua gak ada yang bawa uang lebih." Kalimat dari Jisoo semakin membuat bibir Soonyoung tertekuk, dan itu berhasil memancing tawa Jisoo untuk menguar.

Tangan mereka langsung mengambil keranjang setelah mereka memasuki supermarket. Semua daftar barang sudah dibagi menjadi 3 bagian yang masing-masing untuk Jisoo, Wonwoo, dan Soonyoung walau keseluruhan uangnya dipegang oleh Wonwoo.

Mereka tidak perlu repot lagi untuk membagi tugas sehingga mereka langsung berpencar. Wonwoo pergi ke rak sayuran, Soonyoung pergi ke rak makanan ringan, sementara Jisoo pergi ke rak daging.

Jisoo sebenarnya bisa fokus untuk memilih daging, namun dia tak bisa. Jisoo tak bisa fokus karena ujung matanya bisa melihat kehadiran Seungcheol yang juga mengikutinya pergi ke rak daging. Rasanya ada sesuatu yang ganjal di benak Jisoo.

Jisoo rasa, cara untuk mengeluarkan perasaan yang mengganjal ini adalah dengan berbicara dengan Seungcheol. Tak ada jalan lain selain berkomunikasi. Jisoo tarik nafasnya yang sedikit tersengal sebelum memanggil Seungcheol, "Kak."

"Ada apa, Soo?" Balasan dari Seungcheol malah membuat Jisoo tak berani menatap matanya. Seungcheol selalu sama, dia bertanya kembali dan diakhiri dengan nama Jisoo yang tersebut. Suara lembut itu berhasil membuat Jisoo merasa bersalah.

Dapat Jisoo tebak bahwa Seungcheol menatapnya sekarang, sama seperti kebiasaannya. Seungcheol selalu memberikan perhatian lebih pada siapapun yang berbicara, terlepas dari perilaku orang itu. Lama-kelamaan, tumbuh rasa tak pantas dalam diri Jisoo.

Seungcheol pantas untuk orang lain. Orang lain yang memperlakukannya sama seperti Seungcheol memperlakukan orang lain. Oh, bukan. Bukan orang lain. Tapi, cinta pertamanya.

Kepala Jisoo akhirnya terangkat untuk menatap Seungcheol. "Kak, nanti malam kita ngobrol sebentar, boleh?" tanya Jisoo.

Belum sempat Seungcheol membalas, Jisoo sudah menambahkan, "Sebelum kita bilang ke orang tua kita." Raut wajah Seungcheol berubah menjadi tak terbaca ketika mendengar kalimat dari Jisoo.

Melihat wajah Seungcheol, rasanya hati Jisoo hancur secara perlahan. Teman masa kecilnya yang dia bukakan pintu hati harus dia usir secara paksa. "Oke," balas Seungcheol singkat. Kali ini, ditambah oleh senyum manis yang makin melukai hati Jisoo.

Tak mau menangis di depan Seungcheol, Jisoo langsung berbalik dan meninggalkan rak daging. Ini semua demi kebaikan mereka. Demi kebaikan dirinya dan Seungcheol.

Seungcheol memiliki seseorang untuk diperjuangkan, sedangkan dia jatuh cinta pada seseorang yang sedang memperjuangkan cinta pertamanya. Jisoo tak mau merebut seseorang dari cinta pertamanya, Jisoo pun tak mau mencintai seseorang yang sudah pasti tak akan membalas cintanya.

Semuanya hanya fase sementara. Setelah ini, mereka tak akan lagi bertemu. Mereka tak akan lagi jatuh cinta. Mereka akan membiarkan waktu mengubur sejarah ini. Jisoo sendiri akan membiarkan waktu yang mengubur luka dalam hatinya.

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें