8. Cerita Hati di Malam Hari

270 39 1
                                    

Malam menguasai setengah dari bumi. Kali ini, raja dari akhir hari adalah bulan. Bulan purnama menyinari gelapnya hari. Keberadaan bintang-bintang pun meramaikan langit malam hari, membuat pemandangan indah untuk memanjakan mata.

Indahnya pemandangan ini tak boleh dilewati Jisoo. Seperti biasa, Jisoo duduk di balkon kamarnya yang mengarah langsung ke area pepohonan. Dibawanya lilin dengan aroma terapi, harap-harap bisa mengusir nyamuk nakal yang kelaparan.

Saat angin berlalu, Jisoo tundukkan kepalanya. Dia membiarkan angin memainkan helaian rambutnya selagi dia menyibukkan diri dengan buku gambarnya.

Buku gambarnya sudah penuh dengan coretan sketsa kafenya yang ingin dia rombak. Dari panas hingga dingin, dari terang hingga gelap, Jisoo habiskan waktu sepanjang harinya berdiam diri di balkon kamarnya demi bisa mendapatkan ketenangan.

Jisoo butuh ketenangan dalam menggambar sketsa. Dia juga membutuhkan ketenangan demi bisa memikirkan perasaannya. Dia merasa janggal karena tak berhasil memahami apa yang hatinya mau.

Beberapa hari sudah berlalu dari acara makan malam bersama Seungcheol, dan semenjak itu pula Jisoo terpikir banyak hal. Otaknya terus berputar sehingga dia lelah dan memutuskan untuk berdiam diri di dalam kamarnya.

Sebenarnya, apakah dia sudah bisa melupakan Woojung? Tidak juga. Kadang Jisoo teringat kenangannya bersama Woojung. Tentu nyeri dalam hatinya kembali muncul ke permukaan. Bagaimana bisa lupa jika rasanya sesakit itu?

Apakah dia sudah bisa menerima Seungcheol? Tidak pula. Jisoo menerima kehadiran Seungcheol hanya sebagai teman lama. Tidak dalam status pasangan seperti apa yang dibilang Kihyun.

Hubungannya dengan Seungcheol sebenarnya sudah cukup kaku. Mereka terakhir bertemu di saat Jisoo berumur 14 tahun. Kini, usia Jisoo hampir menyentuh angka 22. Nyaris 8 tahun mereka tak bertemu lagi.

Jangankan 8 tahun, Jisoo bertemu dengan sepupu yang setelah 2 tahun tidak bertemu saja sudah canggung. Sudah terbayang, bukan, bagaimana Jisoo bisa menyambung pembicaraan jika mereka serenggang itu?

Namun, tak bisa Jisoo pungkiri jika segala hal kecil yang Seungcheol lakukan berhasil menciptakan kupu-kupu di dalam perutnya. Seungcheol memberikan afeksi yang benar-benar Jisoo butuhkan.

Hanya saja, Jisoo tak bisa menerima fakta bahwa dia membutuhkan Seungcheol. Jika dia jatuh cinta pada Seungcheol, apakah Seungcheol rela melepas cinta pertamanya?

Jisoo tak tahu rupa dari cinta pertama Seungcheol. Jisoo hanya yakin bahwa tentu dia mempunyai banyak kelebihan dari Jisoo. Seungcheol bisa mendapatkan banyak wanita dengan hanya memutar kunci mobilnya yang tentu tidak murah, namun Seungcheol memilih untuk tetap setia pada cinta pertamanya.

Seungcheol bisa mendapatkan seseorang yang juga setara dengannya, tapi Seungcheol menolak. Dia kurang banyak mendengar dari Gahyun bahwa Seungcheol menolak beberapa pilihan jodoh dari Minho, berembel-embel masih menunggu cinta pertamanya membalas cintanya.

Ah, rasanya hati Jisoo kembali terbelah menjadi dua. Woojung bahagia dengan selingkuhannya, sementara Seungcheol bahagia dengan cinta pertamanya. Apakah dia tidak ditakdirkan mendapat pasangan hidup?

"Soo?" Panggilan itu diiringi oleh ketukan pada pintu kamar Jisoo. Kepala Jisoo terarah ke arah pintu kamarnya, namun dirinya tak ada niat untuk beranjak dari tempat duduknya. Terlanjur nyaman dengan posisi duduknya.

"Masuk aja," sahut Jisoo. Dia hanya harus siap-siap dimarah Saejin karena tak kunjung mengisi perut. Yang menemaninya sedari tadi hanyalah secangkir teh.

"Ada apa, Ma? Jisoo nggak laper." Jisoo bertanya sembari memberikan alasan. Sejujurnya, Jisoo hanya malas jika disuruh turun. Pertanyaan dalam pikirannya tak kunjung terjawab sehingga dia masih berada di dalam lorong kebingungan.

"Kamu disuruh makan, Soo." Mendengar suara Seungcheol, Jisoo sontak melihat ke sumber suara. Sekedar untuk memastikan apakah itu halusinasinya atau bukan.

Ternyata itu bukan halusinasinya. Seungcheol benar-benar ada, di hadapannya sembari membawa nampan. Di atas nampan terletak sepiring makaroni berlumur keju dan segelas air putih.

"Kata Tante, kamu nggak keluar dari kamar seharian. Emang bener, Soo?" tanya Seungcheol. Di nadanya terselip kekhawatiran. "Kamu kenapa seharian nggak makan?" tambah Seungcheol.

Jisoo berdiri, merapikan bangku di sampingnya. Barang-barangnya memenuhi bagian meja dan kursi di sampingnya. "Lagi nggak mood aja. Nggak terlalu laper juga kok," jawab Jisoo.

Setelah barang-barangnya dikemas dalam waktu sesingkat mungkin dan dipindahkan ke tempat yang lain, Jisoo berucap, "Duduk dulu, Kak." Seungcheol mengangguk, meletakkan nampan itu di atas meja lalu duduk di samping Jisoo.

"Makan, Soo. Kamu nggak bisa kenyang cuma minum teh doang." Jisoo raih piringnya setelah mendengar perkataan Seungcheol. Selagi suapan pertama masuk ke dalam mulutnya, dia berpikir.

Apakah ini saat yang tepat untuk menanyakan pertanyaan yang telah menghantui dirinya?

"Aku pengen ubah kafeku nanti." Ucapan Jisoo tak sesuai dengan apa yang ingin dia bicarakan. Otaknya berkata ini, mulutnya berucap itu. Jisoo menambahkan hal yang tak sesuai dengan kemauannya, "Aku pengen di bagian luar juga ada meja."

Seungcheol menerima sketsa gambar yang Jisoo beri. "Ini udah bagus. Space sisanya mau kamu isi apa?" tanya Seungcheol, matanya terpaku pada sketsa yang Jisoo buat.

"Bagian live performance-nya. Yang sebelumnya terlalu sempit, cuma bisa satu orang. Kalau misalnya bagian live performance diluasin, paling nggak empat orang bisa perform disitu," jawab Jisoo. Dia masih bergelut dengan otaknya yang menolak untuk menjelaskan keresahannya.

"Oh, bagus kok. Jadi, kamu bisa undang beberapa musisi buat manggung," timpal Seungcheol, mengembalikan kembali buku gambar Jisoo kepada pemiliknya. "Tapi, cuma perihal ini kamu seharian nggak keluar kamar? Kata Tante, kamu malah lebih suka sketsaan diluar kamar."

Seungcheol membuka jalannya pembicaraan dan Jisoo mensyukuri hal itu. Dia berhenti melahap makanannya untuk meneguk air minumnya. Setelah kerongkongannya terasa basah, Jisoo berdeham. "Kak, emangnya bener, ya, kalau Kakak masih ada rasa ke first love Kakak?"

Dapat Jisoo lihat bahwa Seungcheol mematung, terkejut atas pertanyaan Jisoo yang tiba-tiba. "Kamu... tau darimana?" Bukannya menjawab, Seungcheol malah kembali melempar pertanyaan.

"Bunda," jawab Jisoo, menyebut nama Gahyun. Seungcheol hanya membulatkan mulut dan tak berniat melanjutkan. "Emangnya bener, Kak?" ulang Jisoo, menuntut jawaban Seungcheol.

Seungcheol melihat ke langit, menghindari kontak mata. "Ya, bener."

Jisoo kecewa mendengar jawaban Seungcheol, tapi apa boleh buat? Jisoo tak punya hak. "Kenapa Kakak mau dijodohin? Kakak juga bisa nolak," tanya Jisoo.

Seungcheol menoleh ke arah Jisoo, tersenyum kecil. Tangannya kembali jatuh pada rambut halus Jisoo. Selagi jari-jari Seungcheol menyisir helaian rambut Jisoo, Seungcheol menjawab, "First love-ku belum bisa balas perasaanku, Soo."

Jisoo tertegun saat mendengar pertanyaan Seungcheol. "Jadi... kita sama-sama patah hati?" Jisoo bertanya dengan suara kecil.

"Ya, kita sama-sama patah hati."

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang