14. Persiapan

261 23 4
                                    

Sayup-sayup suara deburan ombak terdengar, memasuki gendang telinga secara sopan. Bulan pun menghiasi lautan dengan cahaya pantulannya, membuat kesan malam yang indah untuk sekarang ini.

Dua pasang mata yang saling bersitatap mengagumi satu sama lain. Mereka mengagumi keindahan pancaran cahaya bulan yang bisa mereka lihat di iris masing-masing. Binarnya terasa begitu memikat sebelum salah satunya memutuskan kontak mata.

"Kamu butuh bantuan?" ulang Seungcheol yang sudah sadar siapa orang di hadapannya. Seungcheol abaikan fakta bahwa mereka bisa kebetulan bertemu disini. Seungcheol menawarkan bantuan seolah-olah tak ada apapun yang terjadi diantara mereka.

"Kenapa disini, Kak?" Bukannya menjawab, Jisoo malah bertanya kembali dengan suara yang lemah. Berbeda dari Seungcheol yang abai, Jisoo malah terpikir terus-menerus karena dia adalah pihak yang mengambil keputusan.

Mata Jisoo beralih, menatap barang bawaan keluarganya yang berada di atas pasir. Jisoo hanya bisa berharap, Seungcheol bisa mengerti bahwa dirinya tidak siap untuk bertemu dengan Seungcheol.

Namun, mata Seungcheol tidak lepas dari gerak-gerik Jisoo. Apapun yang Jisoo lakukan dia perhatikan, termasuk ketika Jisoo menghindari adanya kontak mata diantara mereka berdua.

"Aku disini ngikut Ayah, Soo. Ayah bilang, siap-siapnya disini aja biar lebih dekat ke tempat survey," jawab Seungcheol. Mendengar jawaban Seungcheol, Jisoo merasa risih. Keadaan mereka tak baik-baik saja saat mereka terakhir berkomunikasi.

Berusaha menghilangkan rasa risihnya, Jisoo menunduk untuk mengambil tas miliknya terlebih dahulu. Melihat Jisoo yang tidak memberikan tanggapan, Seungcheol terdiam dan memilih untuk mengikuti aksi Jisoo. Dia sedikit membungkuk untuk menarik koper dan ransel serta satu tas yang sedikit besar.

Namun, nampaknya ada sesuatu yang menjanggal di tenggorokan Seungcheol sehingga Seungcheol masih saja ingin melontarkan pertanyaan. "Kamu udah bilang itu ke orang tua kamu?" tanya Seungcheol, menyamarkan akhir dari hubungan mereka dengan satu kata.

Jisoo membungkuk untuk mengambil sisa barang, yaitu ranselnya. Selagi membungkuk, Jisoo menggeleng, "Belum, aku takut Mama nanti minta maaf terus. Nanti kita barengan aja bilangnya."

Seungcheol hanya mengangguk. Seungcheol memperhatikan sekitarnya dengan kepala yang tegak, berbeda dari Jisoo yang masih saja menundukkan kepalanya. Pandangan Jisoo hanya fokus ke sendalnya yang dipenuhi oleh pasir. Mereka sama-sama tidak bertatap muka.

Ada perasaan aneh yang menyeruak di dada Jisoo. Rasa bersalah, kecewa, dan lainnya menyatu menjadi satu. Anggapannya seperti dua orang yang sudah lama memadu kasih tapi berakhir tidak bersama. Namun takdir mempertemukan mereka kembali, seolah menyuruh mereka untuk kembali bersama.

Sama halnya dengan kasus Jisoo kali ini. Hanya beberapa hari yang lalu dia melempar rentetan kalimat dengan harapan tidak jatuh lebih dalam pada Seungcheol. Lihat, apa yang terjadi? Suratan nasib mempertemukan mereka disini.

Di pantai milik keluarganya pada hari-hari menjelang akhir tahun.

"Soo, angkat kepalamu." Mendengar hal itu, kepala Jisoo seketika tegak. Mereka sama-sama belum membicarakan hal ini pada orang tua masing-masing sehingga mereka masih perlu melakukan sandiwara.

Kedua sudut bibir Jisoo terangkat perlahan saat matanya menangkap anggota keluarganya yang sedang menunggu di lobby. "Soo! Eh, Seungcheol? Kamu kok bisa disini?" Panggilan dari Saejin berubah menjadi pertanyaan yang ditujukan untuk Seungcheol.

Dari sudut matanya, bisa Jisoo lihat Seungcheol juga ikut tersenyum ramah. Mereka berdua sama-sama memasang topeng di depan keluarga Jisoo dan hanya mereka berdua yang tahu alasannya.

"Tempat survey Ayah deket sini, Tan, jadinya Ayah nyewa kamar disini. Eh, nggak taunya Om sama Tante bakal liburan dan nyewa kamar hotel ini juga," jelas Seungcheol. Tangan Seungcheol menurunkan satu-persatu tas yang dia jinjing tadi.

Bibir Saejin membentuk huruf 'O' sebelum akhirnya berkata, "Ternyata kebetulan, ya? Oh, iya, nanti malam tahun baru ajak Ayahmu ikut bakar-bakar di pantai kami, Cheol." Ajakan Saejin disetujui oleh Kihyun yang menganggukkan kepalanya.

Seungcheol hanya tertawa kecil. "Nanti Cheol coba ajak, deh, Tan. Oh, ini Cheol tinggal nggak papa, kah? Soalnya Ayah udah minta berkas perusahaan," pamit Seungcheol, mengangkat ponselnya yang sedang berdering. Saejin pun mempersilakan untuk Seungcheol berlalu, meninggalkan mereka.

Haebin yang sedari tadi senyap karena sibuk bertransaksi dengan resepsionis tiba-tiba berucap, "Oke, udah semua. Dengerin dulu pembagian kamarnya." Semua orang yang tengah berbicara seketika meredakan volume suaranya.

"Aku sama Yura kamar 203, Saejin sama Kihyun kamar 204, Nahyun sama Haejun kamar 205, terakhir semua keponakanku pada di kamar 206. Nanti kasurnya disiapin. Ada yang keberatan?" Gelengan kepala didapat Haebin sebagai respon bahwa tidak ada yang keberatan atas jatah pembagian kamar.

Jempol Haebin mengacung, "Yaudah, bawa barang-barang ke kamar masing-masing. Wonwoo, Hoshi, Jisoo jangan lupa bantuin Ayah sama Mama kalian."

***

Bagi Jisoo sendiri, pagi ini terasa sedikit berbeda. Bukan rumah tetangga yang dia lihat ketika di pagi hari, namun hamparan pasir yang berpadu dengan laut biru. Jarak antara hotel dengan pantai keluarganya tidak bisa menghalangi mata Jisoo untuk menikmati pemandangan itu.

Di pagi ini, Jisoo adalah orang pertama dari kedua sepupunya yang sudah membasuh diri. Masih ada handuk yang melilit di lehernya, menandakan bahwa dia baru selesai beberapa menit yang lalu.

Kini, Jisoo sedang duduk di tempat tidurnya yang bersampingan dengan jendela full-view. Dia masih saja terpukau dengan keindahan air laut yang memantulkan sinar matahari pagi.

Sayangnya, keterpukauannya harus berakhir saat telinganya mendengar suara ketukan yang berasal dari pintu. Dengan cepat Jisoo bangkit, berjalan menuju pintu kamar. Nampaklah Saejin setelah dia membukakan pintu kamar.

"Kenapa, Ma?" Jisoo langsung berinisiatif untuk bertanya. Saejin melongok ke dalam kamar membuat Jisoo pun segera menyingkir dari pandangan Ibunya. Dia biarkan Ibunya melihat keadaan dua sepupunya yang berbeda 180 derajat.

Kaki Soonyoung sudah berada di dinding dengan bagian pinggang ke atas masih berada di kasur. Secara teknis, Soonyoung tertidur dengan sikap lilin. Berbeda dari Wonwoo yang tidur telentang dan lurus, sikap tidur orang pada normalnya.

"Ya ampun Hoshi..." gusar Saejin. Perempuan yang sedang memakai piyama berwarna biru langit itu bahkan sudah tidak bisa berkata-kata. Sepupu Jisoo yang satu itu terlalu ajaib.

Saejin menepuk bahu Jisoo, "Kamu bangunin sepupu kamu, ya, sayang. Ajak mereka beli bahan-bahan buat bakar-bakar. Jam 11 Seungcheol nunggu di parkir, naik mobil dia aja."

Jisoo angguki permintaan Ibunya, sebelum kemudian kedua alisnya tertaut kala Ibunya menyebutkan nama Seungcheol. Segera saja Jisoo bertanya, "Kok Kak Seungcheol ikut? Terus, kita kok naik mobil dia?"

"Dia sama Pak Minho setuju buat ikut bakar-bakar sama kita, Soo. Jadi, dia juga setuju buat beli bahan-bahannya sama kalian." Mendengar penjelasan Saejin, Jisoo termangu.

Itu berarti dia akan bertemu dengan Seungcheol lagi dalam suasana yang sama. Suasana canggung yang sangat aneh.

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooWhere stories live. Discover now