4. Memulai Kembali

314 41 0
                                    

Hari yang cukup terik untuk melakukan kegiatan bersih-bersih. Tak heran jika ada peluh yang mengalir di dahi para ibu rumah tangga. Pendingin ruangan pun rasanya tak bekerja padahal suhunya sudah disetel ke angka terendah.

Berdasar pada cuaca, Jisoo angguki tawaran Seungcheol. Jika hanya dia sendiri yang membersihkan kafenya, dia mungkin bisa mati karena kelelahan. Lagipula, Seungcheol memang berniat untuk membantu dari hatinya. Kenapa pula harus ditolak?

Jisoo melihat ke sekeliling, mengobservasi apa saja yang perlu dibersihkan. "Area dapur sama tempat duduk yang paling kotor sih..." gumam Jisoo, bergelut dengan pikirannya sendiri. Matanya menyipit, berusaha melihat debu seakan-akan matanya adalah mikroskop.

Jika perlu digambarkan, kafenya memiliki rasio 16:12. Dari arah pintu masuk, pelanggan akan disambut langsung dengan tempat kasir yang juga merangkap sebagai tempat pesan. Di balik tempat kasir, terdapat menyimpan bahan-bahan makanan.

Di samping dari tempat kasir, terdapat banyak pasang meja untuk bersantai. Entah bersama teman atau pasangan. Ada banyak sekali pot-pot kecil berisi tanaman berukuran kecil di bagian jendela. Warna tembok pun dipilih mengikuti saran yang berkata bahwa warna merah muda dan kuning muda adalah warna santai.

Di ujung ruangan, terdapat beberapa alat musik yang sudah masuk ke dalam pelindungnya. Jisoo sendiri yang mengusulkan untuk memberikan ruang kosong yang akan diisi beberapa alat musik, sisanya dia biarkan para pengunjung yang berkreasi.

Cukup luas untuk sebuah kafe di daerah yang padat penduduk. Wajar saja jika Jisoo kebingungan untuk membersihkan bagian mana terlebih dahulu. Dia takut waktu yang terbuang terlalu besar.

"Kamu mau bersihin bagian mana, Soo?" tanya Seungcheol dari balik badannya. Sedari tadi Jisoo hanya berdiam diri, melihat ke sekitar dengan teliti yang membuat tanda tanya besar di kepala Seungcheol.

Jisoo berbalik, "Kakak mau bersihin bagian mana? Ini luas banget, Kak. Kayaknya bakal capek banget deh. Kakak yakin?" Jisoo lontarkan seluruh pertanyaan yang menumpuk di pikirannya. Sedikit banyaknya tentu ada kekhawatiran terhadap Seungcheol.

Tawa tiba-tiba menguar, dan itu berasal dari Seungcheol. "Kan, aku disini buat bantuin kamu, Soo. Justru karena ini luas, jadinya aku mau bantu kamu," ucap Seungcheol dengan sisa tawanya.

Seungcheol sedikit menunduk, menyamakan tingginya dengan Jisoo sebelum berkata, "Gimana kalau kamu bersihin bagian kasir dan gudang, sementara aku bersihin bagian tempat duduk?"

Jisoo sempat diam sejenak, berpikir. Masih ada sedikit kekhawatiran dalam benak Jisoo. Sejujurnya, letak luas dari kafenya itu terletak di area tempat duduk, sama seperti kafe lain. "Aku nggak keberatan kok. Ayo, Soo, mulai bersih-bersih," ajak Seungcheol, menepuk bahu Jisoo.

Mendengar itu, Jisoo mengangguk. Seungcheol dan niat baiknya tak bisa ditolak. Jika ditolak, Seungcheol akan melakukan apapun agar Jisoo membiarkan dia membantu Jisoo.

Jisoo bawa kakinya menuju gudang untuk mengeluarkan alat bersih-bersih. Pel, sapu, kemoceng, dan kawan-kawan adalah senjata tempur untuk sekarang ini. Alat pembersih itu disandarkan Jisoo pada meja kasir. Satu sapu dan satu kemoceng diberikan pada Seungcheol, sementara tangan kirinya meraih satu sapu.

Punggung mereka segera berhadapan setelah mendapat alat pembersih masing-masing. Seungcheol mulai dari ujung kafe, sementara Jisoo mulai dari dalam gudang. Mereka sama-sama mulai dari menyapu, dilanjutkan membersihkan debu di langit-langit, kemudian diakhiri dengan mengepel.

Dalam keheningan, mereka kerjakan tugas mereka. Tak ada yang berniat membuka pembicaraan. Seungcheol yang terlalu fokus, dan hati Jisoo yang terasa sedikit nyeri ketika teringat tentang Woojung.

***

Peluh yang mengalir di pelipisnya Jisoo sekat agar tak merusak suasana hatinya. Acara bersih-bersih ini benar-benar jauh lebih cepat dari yang dia sendiri bayangkan. Jisoo menebak akan berakhir lebih dari pukul 12 siang. Nyatanya, ini berakhir pada pukul 10 pagi.

Letih pasti dia rasakan, kering pun menyeruak di kerongkongannya. Ludahnya ditelan paksa saat Jisoo kembali teringat dengan kenangan buruknya. Tatanan meja masih sama, alat-alat pun masih sama. Keringatnya yang dia lap tak berhasil menyelamatkan suasana hatinya.

Hatinya mendadak mendung. Ada perasaan tak lepas bahkan setelah hampir 8 bulan ditinggalkan. "Soo," panggil Seungcheol yang seketika mendapat respon dari Jisoo.

"Kenapa, Kak?"

Seungcheol mengalihkan pandangannya, menatap Jisoo dengan tatapan yang Jisoo sendiri susah jelaskan. "Mau nggak kalau nanti kita atur ulang tempat duduknya?" Seungcheol memang cocok jika disebut sebagai pengamat terbaik.

Jisoo hanya mengangguk lemah, menyetujui saran Seungcheol. Dirinyalah yang sekarang memegang kendali terhadap kafe ini, semua keputusan berada di tangannya.

Jika ingin lepas dari masa lalu, biarkan semua berubah hingga bayangan dari kenangan itu hilang tak berbekas. Ucapan itu harap-harap bisa menenangkan Jisoo yang masih tak bisa berdamai dengan masa lalu.

Kepala Jisoo menoleh ke bagian kiri, tempat dimana semua pekerjaan dikerjakan. Barang-barang elektronik sudah dicolokkan kabel listrik, kulkas pun sudah kembali hidup. Tangan Jisoo membalik papan, mengarahkan kata 'buka' ke bagian depan.

"Ternyata udah buka!" Suara seseorang membuat Jisoo terkejut. Dengan cepat Jisoo cari sumber suara itu, dan menemukan laki-laki berambut kuning terang sebagai si pencetus suara.

Boo Seungkwan. Laki-laki yang akan menginjak usia 21 tahun pada Januari itu tersenyum sangat lebar ketika matanya terhubung dengan mata Jisoo. Dirinya juga menyeret seseorang bersurai coklat terang.

Boo Seungkwan dan Xu Minghao, dua orang yang paling sering merecokinya dengan banyak pertanyaan semenjak Jisoo memutuskan untuk menutup kafenya sementara.

Pertemuan mereka bermula dari Seungkwan yang menemukan kafe ini, kemudian mengajak Minghao. Minghao yang kala itu sedih perihal hubungan jarak jauh dengan pacarnya, Wen Junhui, menyetujui ajakan Seungkwan. Mereka pun akhirnya menjadi dekat setelah seringnya frekuensi Seungkwan dan Minghao datang.

"Kak Jisoo!" teriak Seungkwan sembari mengikis jarak. Setelah sudah tak ada jarak diantara mereka, Seungkwan dan Minghao memeluk Jisoo erat-erat. "Kakak... Huhuhu..."

Jisoo sekarang mirip seperti induk ayam yang dicari-cari oleh anak ayam. "Kangennnn..." rengek Seungkwan manja. Seungkwan seakan-akan mendadak lupa bahwa setiap hari dirinya menghubungi Jisoo hanya untuk bertanya kabar Jisoo.

"Kwan... Hao... Kalian ini kayak nggak ngeliat aku seabad..." lirih Jisoo lemah. Kepala Jisoo berputar, melihat Seungcheol dengan tatapan memohon bantuan. Namun, Seungcheol hanya mengangkat tangan, tak bisa membantu.

Saat melepas pelukan, mata mereka berdua langsung tertuju pada Seungcheol yang berdiri di belakang Jisoo. Dengan canggung mereka bertatapan mata hingga Jisoo sadar situasi. Jisoo pun berucap, "Masuk aja, yuk? Nanti kita ngobrol di dalam."

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooWhere stories live. Discover now