12. Dunianya

252 28 2
                                    

Malam hari biasanya identik dengan kesunyian. Banyak orang yang rela menghabiskan waktu di siang hari untuk tidur sehingga mereka bisa terjaga di malam hari. Mereka sengaja menikmati malam yang biasanya lebih damai dibandingkan siang hari.

Kali ini, malam terasa berbeda. Malam ini masih dipenuhi oleh keramaian. Di pukul 10 malam, masih banyak toko yang buka. Masih banyak pula lampu rumah yang menyala, menandakan masih ada kegiatan yang terjadi.

Tentu saja malam ini terasa berbeda karena malam ini termasuk ke malam di penghujung tahun. Memang masih butuh ada dua hari untuk memasuki pergantian tahun. Walau begitu, sudah banyak pekerja yang sibuk mengurus cuti agar bisa menemani keluarga di rumah.

Tak heran bila ada banyak petasan yang menemani bintang dalam menghiasi langit gelap. Suara gaduh itu diharapkan bisa menyampaikan rasa terima kasih semua orang kepada tahun ini. Rasa senang, syukur, sedih, kecewa, marah, dan lainnya diharapkan bisa terbang bersama petasan.

Sayangnya, suara ribut petasan tak bisa mengganggu pikiran Jisoo. Kembali ke kebiasaannya, Jisoo tenggelam dalam lautan yang ada di pikirannya.

Hanya tangannya yang bergerak, mencoret-coret buku sketsanya. Pikirannya tetap tertuju pada sosok yang sama, yaitu Seungcheol.

Pembicaraannya dengan Seungkwan beberapa hari yang lalu memenuhi otaknya. Otaknya terus-terusan menyebutkan beberapa kemungkinan yang sepertinya memang terjadi. Hati Jisoo tak bisa menolak kemungkinan bahwa Jisoo membutuhkan kehadiran Seungcheol.

Pada awalnya, Jisoo kira dia hanya memanfaatkan Seungcheol demi bisa menghapus memori tentang Woojung. Faktanya tak semudah itu. Seiring berjalannya waktu, Jisoo mulai terbiasa dengan kehadiran Seungcheol.

Jika dia hanya memanfaatkan Seungcheol, untuk apa dia merasa kehilangan sesuatu ketika Seungcheol tak berada di sekitarnya?

Bohong jika Jisoo bilang dia merasa terbiasa dengan bayang-bayang Woojung. Dia terbiasa jika ada Seungcheol. Seungcheol membantunya melupakan memori tentang Woojung. Jika tak ada Seungcheol, bayangan Woojung kembali menghantuinya.

Jika Jisoo ditodong oleh fakta dimana dia dikatakan mencintai Seungcheol, Jisoo terima fakta itu. Jisoo memang mencintai Seungcheol karena laki-laki itu berhasil menggeser posisi Woojung. Seungcheol bisa menerimanya apa adanya terlepas dari status mereka yang dikatakan sedang dijodohkan.

Jisoo menebak, pergolakan batin yang ada di dalam dirinya ini bersumber dari cinta pertama Seungcheol. Jisoo tak tahu, apakah Seungcheol juga mencintainya atau masih terperangkap dalam jeratan cinta pertama.

Apakah Seungcheol hanya kasihan padanya? Mengingat dia hanyalah seseorang yang tak bisa beralih dari mantan terakhir sehingga Seungcheol berikan semua kasih yang didambakannya.

Bisa jadi memang Seungcheol juga mencintainya. Namun, Seungcheol pasti bisa melakukan pergerakan sejak beberapa bulan yang lalu. Orang tua mereka dekat, tentu mudah bila ingin melakukan pendekatan.

Tentu saja, alasan dari Seungcheol yang tetap sendiri tak lain dan tak bukan dikarenakan cinta pertamanya. Sudah pasti Seungcheol hanya kasihan padanya. Sudah sewajarnya jika teman masa kecil merasa simpati padanya yang gagal mencapai tingkat tertinggi sebuah hubungan.

Maka dari itu, Jisoo akhiri hubungan mereka. Sebelum jatuh lebih dalam, Jisoo putuskan terlebih dahulu. Dia tak akan sanggup jika dia yang sedang dimabuk asmara diputuskan terlebih dahulu. Ada rasa trauma yang menguar di kepalanya.

Sayang seribu sayang, Jisoo tak bisa menghilangkan rasa ini. Yang ada dia yang jatuh cinta semakin dalam.

"Sayang?" Suara Saejin mengejutkan dirinya. Jisoo kembali ke permukaan. Sontak, kepalanya langsung menoleh ke arah pintu. Ada ketukan pula yang dia sadari berasal dari pintu kamarnya. "Kamu masih bangun?" tanya Saejin.

"Jisoo masih bangun, Ma! Sebentar!" jawab Jisoo. Dengan cepat dia pindahkan buku yang sedari tadi berada di pahanya ke meja kecil di sampingnya. Jisoo bangkit, berjalan mendekati pintu dan membukakannya.

Jisoo bergeser sedikit, "Masuk aja, Ma." Saejin mengangguk, dibawanya langkah kakinya memasuki kamar anaknya. Jisoo juga menarik sedikit kursi meja belajarnya agar bisa Saejin duduki. "Duduk di sini, Ma," ucap Jisoo yang Saejin iyakan.

Iris Saejin menangkap pintu balkon yang terbuka, menyadari bahwa anaknya kembali ke kebiasaan lama. "Nggak nyamuk, Soo?" tanya Saejin.

Jisoo menggeleng, "Nggak, Ma. Jisoo biasanya nyalain lilin yang ada bau lavender atau pakai lotion dulu." Saejin manggut-manggut, setidaknya Jisoo tetap menjaga dirinya. "Kenapa datang ke kamar Jisoo?" tanya Jisoo.

"Kamu lagi agak jauh dari Seungcheol, ya?" Pertanyaan Saejin membuat Jisoo terdiam. Belum sampai lima menit yang lalu dia memikirkan Seungcheol, dia kembali dihadapkan pertanyaan tentang Seungcheol.

Saejin yang sadar akan perubahan sikap anaknya menghela nafas. "Mama jarang lihat kamu sama Seungcheol komunikasi langsung di depan Mama. Maaf, ya, sayang, kalau Mama terlalu memaksakan kemauan Mama," sambung Saejin dengan suara lemah.

Jisoo langsung menggeleng, berusaha menghibur Saejin. "Nggak, Ma. Jisoo sama Kak Cheol emang lagi jauhan, kan Kak Cheol lagi business trip sama Ayahnya. Jisoo sama Kak Cheol kadang chatting-an pas lagi kerja," bual Jisoo dengan harapan bisa menghilangkan rasa bersalah Saejin.

Saejin sempat tertegun, sebelum bertanya, "Beneran, Soo?"

Jisoo mengangguk. "Beneran, Ma. Kalau nggak percaya, Jisoo kasih liatin roomchat Jisoo sama Kak Cheol," kata Jisoo, sengaja memakai kata-kata yang meyakinkan. Jisoo tahu bahwa Saejin tak akan bertindak sejauh itu.

Benar saja, Saejin menggeleng. Wanita yang kini berusia 51 tahun itu tersenyum. "Nggak perlu, sayang. Mama percaya sama kamu," sanggah Saejin. Didekatkannya dahi Jisoo untuk dikecup singkat. Kecupan itu bisa menghilangkan rasa bersalah yang tiba-tiba saja hinggap di benak Jisoo.

Tiba-tiba Saejin teringat akan sesuatu. Saejin melontarkan pertanyaan pada Jisoo, "Oh, sayang, kamu ada acara besok?"

Sebagai jawaban, Jisoo menggeleng. Dia tak memiliki acara yang penting. Kafenya pun kini sedang tutup, menjadikannya sebagai seorang pengangguran di akhir tahun.

"Mama mau ajak kamu liburan ke pantai bareng keluarga, kamu mau ikut nggak? Mama sebenarnya mau ajak kamu dari kemarin, cuma baru inget tadi," ucap Saejin sembari memainkan rambut putra semata wayangnya.

Mendengar ajakan itu, Jisoo berpikir sejenak. Bukan sebuah ide buruk jika akhir tahun dihabiskan di pantai. Jisoo setuju sehingga dianggukannya kepalanya. Saejin sangat senang melihat respon anaknya. Dipeluknya Jisoo dengan erat sebagai penyalur kesenangannya.

"Jam 1 siang kita otw ke tempatnya, ya? Jadi, kalau kamu bangun telat, kamu masih bisa siap-siap," sambung Saejin. Sebagai tambahan, dikecupnya pipi Jisoo yang masih sama menggemaskannya dengan Jisoo kecil. Jisoo hanya bisa menikmati perlakuan Ibunya.

Mungkin liburan bersama keluarga bisa menghilangkan rasa gundahnya untuk sejenak.

[✓] Halo, Teman Lama | CheolSooWhere stories live. Discover now