Kepingan Salju Pertama

778 70 5
                                    

Gadis itu memasuki asrama dengan santai di waktu dini hari. Tentu saja ia tidak melalui gerbang depan karena akan sangat merepotkan jika Madam Gallena memergokinya pulang lewat tengah malam. Entah hukuman apa lagi yang akan ia dapat esok pagi. Lunark sudah tidak mau ambil pusing. Ia merenggangkan ototnya dan beristirahat sejenak di bawah menara asrama putri.

Dia memijat pundaknya sambil menghitung berapa banyak dosa yang ia perbuat malam ini. Membantai puluhan orang, membakar rumah beserta mayat korbannya.

Seseorang muncul dari sisi lain asrama. Lunark melompat kaget dan nyaris berteriak jika saja lelaki itu tidak membungkam mulutnya lebih dulu. Lelaki itu menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya sendiri. Isyarat supaya Lunark tidak bersuara. Gadis itu mengangguk.

"Apa yang kau lakukan disini, Tuan? " tanya Lunark was-was. Ia tidak takut dirinya dihukum atas tuduhan membawa pria asing masuk ke dalam asrama Royal Eternity, meskipun ia tidak melakukan itu. Lunark hanya takut jika lelaki ini mendapatkan masalah dengan Madam Gallena, Marianne atau lebih celaka lagi Grandia.

"Tidak masuk? " tanya lelaki itu. Suaranya yang memikat langsung membuat Lunark semangat lagi.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan disini? Kau masuk lewat mana? Apa kau mengenal atau sedang mengunjungi seseorang disini? Seingatku tidak boleh ada yang berkunjung bahkan itu keluarga sendiri," tanya Lunark bertubi-tubi.

Lelaki berambut putih itu menjauhkan dirinya dari Lunark. Ia juga menarik tangannya yang merangkul kepala gadis itu. Gerakannya begitu halus sampai Lunark tidak sadar sudah ada jarak diantara mereka berdua. Baiklah, orang yang ia temui di hutan ini sebenarnya manusia atau setan?

"Tak ada satupun orang yang ingin kulihat selain dirimu, Luna."

"Bisa-bisanya kau bercanda di situasi seperti ini... " Lunark menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

Sebuah bayangan panjang seseorang melintas tak jauh darinya. Lunark luar biasa paniknya. Gadis itu mencengkeram pergelangan tangan lelaki itu dan mengajaknya kabur. Mereka berlari di sepanjang garis bayang-bayang menara asrama. Keduanya berlindung di balik pohon. Lunark mengintip keluar, bayang-bayang tadi ternyata Madam Gallena yang sedang menyeret seorang perempuan. Betapa senangnya hati Lunark ketika tahu orang yang diseret itu adalah Clarence. Salah satu dari tiga orang yang paling dibencinya di sekolahan ini.

"Luna, untuk apa kau berlari? " tanya lelaki itu tak mengerti.

"Kadang kau terlihat begitu pintar dan bijaksana sehingga aku sangat menghormatimu. Tapi saat ini kau terlihat seperti bocah lugu yang tidak tahu jika kau pulang telat--kelewat telat--dan ketahuan penjaga asrama, kau akan menjalani hari-hari yang buruk... "

Lelaki itu memandangi Lunark yang terus mengoceh. Ia tidak pernah tersenyum kecuali menyeringai. Tetapi malam ini ia tersenyum hanya karena suara berisik gadis itu.

"Hei, kau mendengarku tidak? " tanya Lunark datar.

"Ya, aku mendengarmu."

"Sudahlah lupakan saja. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku mengatakan hal tidak penting ini kepadamu. "

"Luna, kau lelah. Kembalilah ke kamarmu," ujar lelaki itu lembut.

"Nanti saja, aku masih lelah. "

"Ayo! "

Lelaki itu membawa Lunark kembali ke bawah menara asrama. Tidak ada lampu lilin yang menyala. Semua penghuninya sudah tidur. Lunark menatap kamarnya yang paling atas dengan malas. Dia tidak yakin mampu menaiki tangga sampai kesana.

Lalu sekarang apa yang baru saja melintas dipikirannya? Terbang? Konyol sekali. Lunark ingin menertawai otaknya sendiri. Ia belum pernah diajari terbang. Tentu saja ia tahu bangsawan bisa terbang mencapai beberapa meter di atas permukaan tanah hingga yang paling tinggi di batas terakhir oksigen bisa dihirup. Tetapi itu hanya ada di kelas tinggi. Dan terbang tidak semudah memotong wortel. Terbang membutuhkan tenaga lebih dari cukup, kesehatan mental serta keseimbangan menjaga diri. Akan sangat memalukan jika terbang dalam keadaan tidak waras dan tidak bisa menyeimbangkan tubuh. Ia pasti akan terjatuh ke kandang babi.

Queen Chronicles Where stories live. Discover now