🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁

172 26 11
                                    

•Anna•

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•Anna•

"Kalau begitu, Ibu tidak perlu mengemas pakaian juga," ucap Ayah usai mendengar informasi dariku." Ukuran baju kalian tidak terlalu berbeda."

"Tentu saja berbeda. Nanti, pakaian Anna menjadi longgar kalau Ibu pakai," balas Ibu.

Selagi Ayah dan Ibu mempersiapkan yang sekiranya harus dibawa, aku dan Radit sedang membungkus ubi dengan kertas bungkus bekas pakai—dan akan disimpan di loteng agar awet lebih lama—satu per satu. Kami duduk di lantai berhadapan dan mengerjakan dengan tertib.

"Kita akan berangkat besok, tapi kita belum tau banyak soal 'gadis berkemampuan ruang' utusan Karma itu," kata Radit. "Aku ragu dia bisa dipercaya."

"Meski Kak Amma bilang dia tidak memiliki keterkaitan dengan GNA, tapi tetap saja dia mengenal Karma," kataku setuju dengan ungkapannya.

"Dia juga lebih tua dari kita, SMA kelas akhir. Seumuran dengan Kak Uta."

" ... aku baru sadar kita sama-sama tipe overthinking," timpalku asal.

"Kalau mau protes, protes ke Ibu." Dagunya menunjuk Ibu dengan tatapan jahil, tepat saat Ibu sedang berceloteh panjang.

"Sebaiknya kita masak semua sayuran yang tidak tahan lama dan menjadikannya bekal selama berangkat. Menu apa yang tahan sampai dua hari tanpa dihangatkan, ya?" kata Ibu.

Ayah yang sedang menekan pakaian ke dalam tas kain serut sederhana seketika menghentikan kegiatannya dan mengerjap pada Ibu. "Rasanya kita tidak akan berlama-lama di perjalanan, mengingat kita pergi bersama seseorang berkemampuan 'ruang'."

"Tapi, bagaimana kalau tempat yang kita tuju jauh dari tempat makan? Bagaimana kalau biayanya terlalu mahal—aku sangat merasa keberatan begitu tau semua biaya kita ditanggung Putri ras Api, jadi kita harus hemat sebisa mungkin—. Kita tidak tau makanan yang mereka jual beracun atau tidak—"

"Lya," sela Ayah, mengangkat sebelah tangannya. "Tenang."

Ibuku langsung diam, menoleh sejenak padaku dan Radit, lalu berdeham. "Maaf, Ibu terlalu berisik."

Bukan itu yang aku perhatikan.

Aneh, pagi tadi aku merasa dongkol dengan kedua orang tuaku sampai rasanya aku tidak ingin pulang setiap keluar rumah. Namun, ketika aku mendapati hal-hal remeh yang menekankan bahwa mereka adalah keluargaku, aku langsung senang. Rasa dongkolku berkurang, memaklumi yang terjadi dan melihat dari sudut pandang mereka.

Mungkin, Ibu dan Ayah sengaja tidak membangunkanku karena ada satu-dua alasan dan nanti mereka akan memberitahukan alasan sebenarnya ketika situasi sudah lebih baik.

Ya. Akunya saja yang menanggapi keputusan mereka terlalu dramatis.

Akunya saja yang masih kecil dan belum mengerti.

🍁🍁🍁

Ini dia hari yang dinanti sekaligus tak dinanti.

Kalau ditanya 'apa kamu siap untuk pergi ke Bumi'? Jawabannya jelas 'tidak'.

Forestesia | Pribumi dan Penjajah [✓]Where stories live. Discover now