PRETENSE - 30

1.8K 215 22
                                    




Sadine memandangi gundukkan tanah berukuran kecil yang telah dipasangi batu nisan di depannya dengan sorot mata yang kosong. Dan gundukkan tanah itu berisi jenazah bayinya yang terpaksa harus ia relakan untuk kembali ke sang pencipta. Di batu nisan itu pun tidak tercantum siapa nama dari bayinya itu karena Sadine belum sempat mencari tahu jenis kelaminnya, jadi dia dan Reksa memilih untuk mencantumkan 'the beloved one' sebagai penggantinya. Sadine juga yang meminta agar bayinya itu dimakamkan di dekat makam keluarganya.

Pemakaman itu hanya dihadiri oleh keluarga mereka serta sahabat dekat Reksa dan Sadine seperti Naresh, Harya, Jerome, Khansa, Yuanita dan Hemma. Mereka semua memilih untuk berdiri agak jauh dari Reksa dan Sadine agar bisa memberi waktu bagi keduanya untuk meratapi calon bayi mereka untuk yang terakhir kalinya.

Setelah cukup lama memandangi makam kecil milik bayinya, Sadine pun mengalihkan padangannya pada tiga makam yang berisi jasad mama, papa dan juga opanya yang mungkin sudah tinggal tulang-belulangnya saja sekarang.

"I wish I could join you." gumamnya tanpa sadar.

"Dee," Reksa meremas pelan pundak Sadine yang sedari tadi berada dalam rangkulannya. "Don't say that."

"Harusnya aku yang di situ," Sadine menatap gundukkan tanah itu lagi nanar. "Harusnya aku, bukan anak kita."

"Jangan ngomong kayak gitu lagi, please..." pinta Reksa sambil menyentuhkan dahinya ke pelipis Sadine.

Sadine tidak mengatakan apa-apa lagi. Tubuh dan pikirannya sudah terlampau lelah menghadapi semua hal yang seolah seperti sedang berlomba-lomba untuk menghancurkannya. Mulai dari kehilangan bayinya, fakta bahwa tantenya kini sedang diadili atas perbuatannya yang menyebabkan dirinya harus mengalami keguguran juga soal kasus penculikan yang terjadi padanya 13 tahun yang lalu, serta keterlibatan Brandon dan juga keluarganya di dua kasus yang cukup berat itu. Sadine bahkan menolak untuk bertemu dengan Brandon ketika om Azka memberitahunya bahwa lelaki itu ingin meminta maaf.

Sungguh Sadine sama sekali tidak ingin bertemu dengan siapapun sekarang. Dia ingin sendirian, bahkan kalau perlu dia juga ingin menghilang saja dari dunia ini. Rasa marah, sedih, bersalah, kecewa, frustrasi semuanya berkumpul menjadi satu hingga membuat kepalanya seperti ingin meledak.

Selama hampir 2 minggu dirawat di rumah sakit pun Sadine sama sekali tidak banyak bicara walaupun terkadang dia masih bisa tersenyum sedikit setiap kali Yuanita dan juga teman-teman mereka yang lain datang untuk menghiburnya. Tapi setelah mereka semua pulang, dia akan kembali berdiam diri lagi dan mulai menangis sendirian dalam diam. Kondisi mentalnya benar-benar sangat kacau sehingga Reksa harus lebih ekstra lagi dalam menemani dan juga mengawasinya. Sebab di setiap air matanya yang jatuh menuruni pipi, selalu terselip kalimat 'aku mau pergi ke tempat anakku juga' yang keluar dari mulutnya berkali-kali.

"Kita pulang ya?" ajak Reksa sembari menarik tangan Sadine untuk membantunya berdiri. "Kamu harus istirahat. Ada banyak obat yang harus kamu minum."

"Aku mau di sini aja, Rex. Nanti kalau pulang, siapa yang nemenin anak kita? Kasian dia sendirian di sini..."

"Dia nggak sendirian kok," Reksa tersenyum pedih seraya mengecup kedua tangan Sadine. "Kan ada mama, papa sama opa yang jagain. Ada Allah juga lagi yang perlindungannya udah pasti ekstra. Kita pulang dulu ya? nanti kita ke sini lagi buat nengokin dia."

Merasa bahwa kondisi tubuhnya sudah terlalu lemah untuk merengek apalagi berdebat, akhirnya Sadine memilih untuk menuruti ajakan Reksa. Dia menatap teman-temannya yang melemparkan senyum penuh arti padanya lalu kemudian dia membalasnya dengan senyum hampa. Tanpa banyak bicara lagi Sadine menghampiri mereka semua dan membiarkan Yuanita, Hemma dan Khansa memeluknya secara bersamaan.

PRETENSE (✔)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt