Pembelahan Dada Al-Amin

72 2 2
                                    

Gadis itu masih menangis, Hasanah mendekapnya. Seolah dekapan itu layaknya dekapan sang ibu pada anaknya.

"Kita berdoa yang terbaik untuk kedua orang tuamu," ucap Hasanah kembali.

Gadis itu mengangguk.

"Oh, iya. Namamu siapa?" tanya Hasanah.

"Maudy," jawab sang gadis lirih.

"Baiklah Maudy, kamu tenang. Semua akan baik-baik saja."

Pintu ruang ICU tiba-tiba terbuka, seorang dokter keluar dengan wajah pasrah. Ia menggelengkan kepalanya, lalu mengusap wajahnya. Andi panik melihat ekspresi dokter yang tidak mampu diartikannya.

"Bagaimana keadaan keduanya dokter?" Andi langsung melayangkan pertanyaan untuk memastikan keadaan orang tua Maudy.

"Apa Bapak keluarganya?"

"Bukan Dokter, tapi saya yang bertanggungjawab atas keduanya."

"Baiklah, saya harus menyampaikan ini meskipun berat."

"Ada apa Dokter, bagaimana Ayah dan Ibu aku?" tanya Muady dengan lugunya sambil menarik-narik jas putih sang dokter. Maudy terlihat khawatir dan penasaran.

"Maaf, saya tidak dapat menyelamatkan keduanya. Saya sudah berusaha sebisanya, tapi Allah lebih menyayangi keduanya. Sepertinya, kecelakaan ini menimbulkan dampak yang luar biasa pada keduanya. Sehingga, keduanya tidak dapat diselamatkan," jelas dokter Anton.

"Itu tidak mungkin!!" tangis Maudy.

Maudy terkejut dan mendadak pingsan, diusianya yang masih delapan tahun harus kehilangan kedua orang tua.

***

Setelah menyelesaikan berkas-berkas administrasi, Andi membawa pulang kedua orang tua Maudy ke kediaman tempat tinggal mereka. Kemudian, Andi membantu mengurusi jenazahnya dan pemakaman keduanya. Selain itu, Andi juga mencari tahu keluarga keduanya, tetapi tidak ada hasil. Keduanya dikabarkan tidak lagi memiliki keluarga dekat. Akhirnya, Andi memutuskan untuk merawat dan menjaga Maudy dan menganggapnya seperti anak sendiri.

"Kemana Maudy harus pulang Om? Ayah dan ibu telah lebih dulu pergi," ucap Maudy di hadapan makam keduanya.

Andi tersenyum sambil merangkul Maudy, "Om akan menjagamu seperti anak-anak sendiri, Nurhayati akan ada bersamamu. Tante Hasanah juga bisa kamu anggap sebagai Ibu, bukankah begitu Nur?"

Nurhayati hanya diam sambil tersenyum, balutan jibab merahnya semakin menambah kecantikannya.

"Nur kok diam, apa Nur keberatan Ayah mengakat Maudy sebagai anak?"

"Tidak Ayah, Nur senang. Artinya Nur memilliki teman baru, tidak selamanya Nur bermain dengan Kak Azzam."

Ucapan Nurhayati kecil masih terdengar manis dan santun hingga saat ini. Tak cukup berucap, Nurhayati juga duduk di samping Maudy sambil memeluknya. Kebijaksanaan Nurhayati sejak kecil sampai hari ini tidak pernah berubah, tak ada yang meragukan itu. Sejak saat itu, dia hidup bersama Maudy dan Maudy sangat senang memiliki Nurhayati seperti saudara kandungnya sendiri.

Nurhayati menyeka air matanya yang sudah telanjur jatuh mengingat kejadian itu. Awal baru untuk kehidupan Maudy dan gadis itu masih tetap bersamanya hari ini. Entah apa jadinya jika sang ayah tidak membawa Maudy masuk ke keluarga mereka, tentu saja Maudy hari ini akan berbeda.

Sore itu, seteleh mereka selesai mengaji dan menghafal Qur'an, Nurhayati membawa mereka ke bilik depan. Seperti biasanya, Nurhayati menceritakan beberapa kisah tentang masa pembangunan islam. Kali ini, Ia juga akan bercerita tentang sosok yang menjadi panutan bagi umat Islam.

BELENGGU CINTA NURHAYATI (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang