Kegelisahan di Penghujung Malam

18 1 0
                                    

Di suatu malam, usai rehat dari semua aktivitas. Nurhayati dan Furqon menghabiskan waktu bersama dalam cuama malam yang cukup dingin. Nurhayati duduk mendekati Furqon dan mengajaknya berbicang-bincang. Ia juga membahas perihal Maudy yang sedang diperjuangkan oleh Fahmi, sahabat Furqon.

Setelah menikah, Nurhayati dan Furqon memilih tinggal di rumah kecil yang dibeli Furqon agar mereka bisa lebih mandiri. Aktivitas Nurhayati masih sama, dia tetap mengajar seperti biasanya begitu juga dengan Furqon. Hanya saja, yang berbeda dari sebelumnya mereka bisa menghabiskan waktu bersama, jalan bersama, pergi ke sekolah bersama.

"Bang," tegur Nurhayati.

"Ya, kenapa sayang?" ucap Furqon.

"Nur bingung, bagaimana meyakinkan Maudy agar menerima Kak Fahmi," jelas Nurhayati sambil mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

Furqon menatap istrinya, dia begitu sangat perhatian kepada saudara angkatnya itu. Furqon sangat kagum, kedua orang tua Nurhayati mendidiknya dengan menumbuhkan sifat sosial tinggi. Sehingga Nurhayati tidak segan untuk membantu siapapun yang membutuhkan bantuannya.

"Jangan dipaksakan, kalau dia mau pasti akan berubah pikiran," ucap Furqon sambil merangkul bahu Nurhayati.

"Tapi sampai kapan? nanti kalau Kak Fahmi mendapatkan calon yang baru bagaimana? Aku ingin melihatnya menikah juga, Bang."

"Artinya mereka tidak berjodoh, sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Biarkanlah mereka berjalan sesuai dengan skenario Allah, tapi kenapa kamu yang gelisah?"

"Aku takut Maudy tidak segera menikah."

Begitu dalamnya rasa cinta antar suadara, sehingga Nurhayati merasa sangat gelisah melihat Maudy belum memiliki pasangan. Dia yang tidak berniat menjodohkan Maudy, tapi Nurhayati melihat sisi baik dari diri Fahmi. Sehingga dia berusaha mendekatkan keduanya untuk menjalankan proses perkenalan.

"Tidak sayang, kamu percaya saja bahwa Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuknya. Seperti halnya kehadiran kamu adalah hal terbaik yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk aku. Tidak perlu khawatir akan perihal jodoh, bukankah itu adalah rahasia takdir yang telah ditetukan oleh Allah? Yakinlah, bahwa Allah pasti memilihkan yang terbaik untuk keduanya."

"Hmm.. baiklah, aku hanya dapat mendoakan yang terbaik untuk Maudy."

"Sayang, aku ingin mengatakan sesuatu."

"Apa? Katakan saja."

"Sudah menginjak dua bulan pernikahan kita, tapi aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu."

Nurhayati menghela napas perlahan seraya menatap suaminya. Bagaimana bisa Furqon berpikir bahwa dirinya tidak memberikan apa pun kepada sang istri. Sedangkan selama ini, Nurhayati mendapatkan banyak kebaikan dari apa yang dilakukan Furqon untuknya.

"Apanya yang belum? Kehadiran kamu dalam kehidupanku ini merupakan hal yang terbaik. Bukan hanya kamu yang merasa beruntung menikahiku, tapi aku juga sangat beruntung memiliki suami seperti dirimu."

"Sampai hari ini aku hanya memberikan kesederhanaan dalam rumah tangga kita, aku tidak memiliki penghasilan yang cukup banyak untuk mencukupi kehidupan kita."

Furqon merasa dirinya belum menjadi suami yang berhasil, sebab masih saja stuck di posisi sama seperti sebelumnya. Meskipun berasal dari keluarga yang berkecukupan, tetapi Furqon tidak mau meminta uang dari keluarganya. Bagi Furqon, semua yang dimiliki keluarga bukan haknya untuk diakui apalagi dibanggakan kepada orang lain.

Begitu sederhananya Furqon dalam menjalani kehidupan, semua tidak terlepas dari hasil didikan kedua orang tuanya. Bahkan untuk menikahi Nurhayati saja, Furqon sudah mempersiapkan ini jauh-jauh hari. Sehingga, semua biaya pernikahan murni hasil kerja kerasnya tanpa meminta bantuan kepada kedua orang tua.

"Kamu berbicara apa?"

"Maafkan aku sayang, sampai hari ini aku hanya bisa menempatimu di rumah kecil ini."

"Meski kecil, ini rumah kita berdua."

"Menyesalkah kamu menikahi aku?"

Nurhayati mengangkat kepalanya menatap sang suami, pertanyaan konyol apa yang dilontarkan oleh Furqon. Mengingat semua terjadi atas kehendak yang maha kuasa, bagi Nurhayati tentu saja bertemu dengan Furqon adalah sebuah kebahagiaan. Jawaban dari doa-doanya selama ini.

"Pertanyaan macam apa? Sudah aku katakan sejak awal, aku bahagia hidup bersamamu."

"Kamu yakin? Padahal sebelumnya banyak lelaki yang datang padamu dengan latar belakang kehidupan yang baik. Mereka bekerja pada perusahaan besar, punya uang dan mobil, sedangkan aku hanya memiliki toko buku yang penghasilannya belum seberapa. Lantas kamu memilih aku."

"Aku yakin, kalau tidak bagaimana aku akan bertahan sejauh ini. Lagi pula, bagiku rumah yang sederhana ini jauh lebih indah dari pada rumah mewah yang tidak menimbulkan ketentraman. Perihal pekerjaan, itu salah kamu sendiri yang tidak mau melanjutkan perusahaan ayah."

"Lho, kamu kok jadi ikut-ikutan ibu? Maksudku, kamu tahu bukan alasanku kenapa tidak mau melanjutkan bisnis ayah."

"Bukan begitu, sudahlah lupakan. Aku juga minta maaf, sampai hari ini aku belum bisa memberikanmu kebahagiaan."

"Kehadiranmu sudah membuat aku bahagia sayang."

Sama halnya seperti Furqon, tentu saja Nurhayati juga merasa dirinya masih banyak kekurangan sebagai seorang istri. Sehingga dia merasa tidak menjadi istri yang sempurna untuk suaminya. Namun, hal itu dipungkas oleh Furqon sendiri bahwa apa yang dia miliki saat ini sudah cukup membuatnya bahagia.

"Tapi..."

"Apalagi?"

"Kamu tidak ingin melihat seorang bayi ada di antara kehidupan rumah tangga kita?"

"Aku ingin, bahkan sangat ingin. Namun, jika memang Allah belum memberikannya kepada kita, baiklah kita hanya dapat berdoa dan berusaha. Kita sudah cukup baik dan melakukan yang terbaik, setelah itu semua urusan kita kembalikan pada Allah."

"Terima kasih, Bang. Kamu sangat mengerti, dan hal ini yang menjadi alasan aku tetap bertahan denganmu. Mungkin, jika lelaki lain yang menikahiku bahkan aku tak yakin dia akan menerimana seperti kamu menerimana."

Hal yang begitu Nurhayati syukuri dari Furqon, saat suaminya tidak menuntut apa yang tidak bisa diberikan olehnya. Furqon tetap menerima semua kekurangan itu dan bersabar atas apa yang belum takdirkan untuk dirinya dengan Nurhayati.

"Nur, aku menikahimu untuk melakukan sunnah Rasul. Aku juga menikahimu agar aku terhidar dari kemaksiatan dan kejahatan syahwat. Bukankah memang sudah tergariskan bahwa manusia memiki nafsu syahwat yang luar biasa? Sedangkan aku seorang lelaki beriman yang memilih jalan halal untuk mengendalikannya," ucap Furqon seraya menggengam lembut tangan istrinya.

"Pernikahan ini untuk mendapatkan barokah, karena dalam ruamah tangga, semuanya menjadi ibadah dan mendatangkan pahala. Dalam mencintaimu saja ada pahala, dengan syarat tidak melebihi cintaku kepada Allah. Di dalam rumah tangga, semuanya mendapatkan pahala dan bercandanya pun berpahala. Alangkah indahnya segala hal dalam pernikahan, jadi untuk alasan apalagi aku harus meributkan masalah keturunan jika semuanya sudah di tentukan oleh Allah. Kita hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah, sedangkan urusan kehidupan biarkan saja Allah yang mengatur semuanya," lanjutnya.

"Tidak ada keraguan lagi aku hidup bersamamu."

"Sekarang, istirahatlah!" pinta Furqon seraya menuntut Nurhayati ke ranjang.

"Baiklah, sepertinya aku juga mulai mengantuk."

"Aku mencintaimu," ucap Furqon seraya mengecup kening Nurhayati.

"Ya, aku tahu dan aku juga mencintaimu."

Cinta itu saling melengkapi, saling menyempurnakan dan bukan untuk mencari yang sempurna. Begitulah sebuah hubungan pernikahan Nurhayati dengan Furqon di bangun, keduanya bersama untuk saling menyempurnakan menerima kekurangan satu sama lain.

Usai dua bulan berlalu dari pernikahan mereka, tentu saja ada banyak kejutan dan juga hadiah tak terduga. Baik itu yang menyenangkan maupun hadiah kurang menyenangkan, semua diterima dengan lapang dada.

"Sayang, masih belum terlalu larut. Bolehkah aku...?"

Nurhayati tersenyum, "boleh, aku akan ada kapapun kamu membutuhkannya."


BELENGGU CINTA NURHAYATI (end)Where stories live. Discover now