Lelaki Berbaju Biru

33 2 0
                                    

"Nurhayati cantik ya, bagaimana pendapatmu Fur?" ucap Fatimah sambil menaruh beberapa makan ke dalam kulkas di suatu sore.

"Insya allah, Bu."

"Kok insya allah?"

"Iya, insyaallah cantik wajah maupun hatinya. Itukah yang Ibu maksud?"

"Nah, baru itu respon yang positif," ucapnya sambil tersenyum.

Furqon memahami apa tujuan ibunya bertanya hal itu. Fatimah berharap bahwa anak lelakinya menyukai Nurhayati seperti dirinya. Akan tetapi, kecantikan tidak membuat Furqon bergeming apalagi langsung menaruh hati kepada sang gadis.

"Maksud Ibu apa?"

"Apa kamu tidak tertarik dengan kecantikan dan akhlaknya, Fur?"

"Tidak ada yang istimewa, Bu. Dia masih sama seperti gadis seuisianya."

"Jawabanmu Fur, Ibu tidak paham."

"Meskipun Ibu mengatakan Nurhayati itu cantik baik fisik dan hatinya, tapi Allah lebih tahu apa yang tidak diketahui darinya. Lagi pula, kita tidak bisa langsung mengenali seseorang hanya dengan sekali pertemuan saja."

"Semoga saja dia sama seperti apa yang Ibu harapkan."

Kali ini Furqon mulai merasa kesal kepada ibunya. Seolah sang ibu memaksa agar Furqon menyukai Nurhayati, apalagi jika bersegera meminangnya. Itu bukan sebuah pilihan mudah dan tidak bisa disegerakan tanpa banyak pertimbangan. Furqon mengakui kecantikan wajahnya, tetapi dia tidak ingin terjebak yang kelak akan menghancurkan sebuah hubungan suci.

"Kenapa Ibu maksa? jodohkan ditangan Allah, Bu."

"Iya, tapi kapan kamu mau menjemputnya? Nah, jodohmu sudah di depan mata. Sudah waktunya kamu jemput"

"Siapa? Nurhayati?"

"Tepat sekali."

"Bu, Ibu baru mengenalnya tadi siang. Sekarang Ibu justru berharap dia menjadi menantu Ibu, apa tidak cukup dengan Husna, 'Ainun, Laila dan.."

"Dan Humairah."

"Iya, mereka yang menurut Ibu baik dan cantik, semua memandang Furqon hanya sebagai anak pengusaha batu bara. Furqon ingin menikah dengan melihat diri Furqon, bukan kedua orang tua Furqon. Tidak setiap yang berjibab itu mau hidup sederhana, mereka juga sama matrealistis."

"Huss, bukan matrealistis Furqon."

Fatimah sangat tidak terima dengan pernyataan yang disampaikan oleh Furqon, tentu saja itu tidak adil. Di tengah gempuran harga kebutuhan pokok semakin melonjak, memang uang adalah modal utama dalam bertahan hidup. Hal itu tidak bisa dipungkiri oleh siapapun.

"Lantas apa?"

"Ya, kamu pikir saja, jika hanya berdoa saja tanpa usaha mana ada wanita yang mau hidup bersamanya. Ibadah saja tidak cukup Fur, harus disertai usaha. Rasulullah saja berusaha untuk menafkahi anak dan istrinya."

"Iya, tapi wanita yang Ibu tawarkan pada Furqon semuanya menginginkan harta, terutama orang tuanya."

"Kalau Nurhayati bagaimana?"

"Sudahlah Bu, simpan saja Nurhayati dalam hati Ibu, tapi jangan disebutkan lagi pada Furqon."

Fatimah masih saja kukuh dengan keinginannya menjadikan Nurhayati sebagai menantu. Sedangkan Furqon belum memiliki ketertarikan pada sang gadis yang membuatnya terus mencari alasan agar menolak permintaan ibunya itu.

"Kamu yakin?"

"Ibu,"

"Sebagai orang tua, Ibu hanya bisa berharap yang terbaik untuk anaknya dan masa depannya. Memperjuangkan yang baik diperbolehkan, Fur. Apalagi kamu anak Ibu semata wayang, tentu Ibu mengharapkan yang baik darimu."

BELENGGU CINTA NURHAYATI (end)Where stories live. Discover now