Kebimbangan Hati Maudy

19 1 0
                                    

Malam tiba, kegelapan mulai menyelimuti langit biru. Rintik-rintik hujan terdengar samar dari balik jendela, sejak sore tadi langit mendung dan malam ini hujan turun begitu derasnya. Maudy berdiri di antara rintik hujan, dibalik jendela kamarnya.

Bayangan seorang lelaki yang berperawakan tinggi dan putih, hidungnya mancung sedikit berewok di pipi dan dagunya. Kalau diperhatikan, ia mirip dengan aktor terkenal Hritik Roshan. Lelaki yang menyatakan proposal cinta padanya dua minggu yang lalu, namun hingga kini belum mendapatkan jawaban.

"Jawaban apa yang hendak aku berikan padanya? Sejujurnya aku belum siap menikah, bahkan membayangkan pernikahan saja tidak ada dalam benakku," lirih Maudy seraya menyandarkan kepalanya ke jendela kamar.

Memang, dalam penampilan lelaki itu menarik dipandang dan pantas untuk dijadikan pendamping hidu. Bukan karena ketampanan saja, melainkan juga dalam akhlak dan makrifatullah. Hanya saja, dia selalu memakai jeans setiap bepergian dan terakhir kali Maudy bertemu dengan lelaki itu, dan penampilannya cukup mengejutkan.

Dia memakai jeans putih kecoklatan dengan kaos oblong putih dipadukan dengan jaket kensi warna hitam dan tidak lupa topi putih dan kameranya. Memang, hari itu ia usai liputan di daerah yang tak jauh dari tempat rumah singgahnya. Lelaki yang tidak lain adalah teman dekat Furqon, dan Furqon sangat mengenal lelaki itu dengan baik.

Ini juga salah satu alasan Furqon mendesak Maudy untuk menerima lelaki tersebut. Tentu saja Nurhayati juga sangat mendukung hal ini. Hal yang kemudian membuat Maudy bimbang, ada rasa ingin juga tidak, profesi sang lelaki yang menghalangi Maudy segera menerimanya. Ia berfikir keras dan memohon petunjunk Allah agar diberikan jalan keluar yang terbaik. Menjadi seorang wartawan memang image-nya negatif dikalangan masyarakat saat ini, Maudy takut dengan hal-hal yang sering diberitakan mengenai wartawan. Belum lagi, kesibukan seorang wartawan sering kali dijadikan alasan jarang berada di rumah.

"Aku tahu, menolaknya hanya karena profesi bukan sebuah alasan syar'i. Tentu hal ini akan ditentang oleh Furqon dan juga Nurhayati. Lalu, jawaban apa yang mungkin akan diterima oleh mereka saat aku memutuskan menolaknya?" ucap Maudy berbicara pada dirinya sendiri.

Nalurinya, wanita mana yang ingin ditinggalkan berlam-lama oleh suaminya, apalagi jika ia sudah menikah. Bukan hanya rindu, tapi rasa takut dan khawatir dengan keberadaannya. Takut ia sakit tidak ada yang mengurusi, atau bahkan takut ia bermain api dengan wanita lain yang mungkin lebih cantik daripadanya.

Banyak orang yang gagal dalam menjalankan rumah tangga karena profesi suaminya. Godaan akan selalu datang di mana saja dan kepada siapa saja, sekalipun dia adalah seorang lelaki yang taat dalam beragama. Kalau sudah berhadapan dengan wanita cantik dan manarik, lelaki mana yang tidak tergoda dan benar bahwa yang haram itu terkadang lebih nikmat dari yang telah halal untuk dinikmati.

Memang sangat sulit mengambil keputusan antara menerima atau menolak lamaran seseorang, namun memang hal ini bukalah perkara yang mudah dipecahkan. Perlu banyak pertimbangan untuk memutuskannya, tidak dapat dipercepat dan juga tidak boleh terlalu lama. Tak hanya perempuan yang membutuhkan kepastian, begitu pun dengan lelaki yang juga ingin segera diberikan keputusan. Agar nanti, tidak menunggu tanpa kepastian atau bahkan menungga sesuatu yang tidak ada.

"Maudy," ujar Azzam membuka pintu kamarnya.

"Kak Azzam!" jawab Maudy segera membalikkan tubuhnya menghadap Azzam.

"Bolehkah aku masuk?"

"Tentu saja, ada apa, Kak? Tumben sekali Kakak datang ke kamarku."

"Tidak, Kakak hanya memastikan bahwa kamu baik-baik saja."

Maudy segera memberikan senyuman kepada Azzam, lelaki yang sudah membersamainya selama puluhan tahun sejak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Azzam selalu menganggap Maudy adiknya, seperti Nurhayati yang juga dicintai olehnya. Bahkan, saat kedua orang tua Azzam dan Nurhayati tiada, dia tetap mendapatkan tempat dikehidupan keduanya.

"Aku baik-baik saja Kak, semuanya juga baik-baik saja."

"Tapi, Kakak merasa ada yang tidak baik pada hatimu. Ada apa?"

"Tidak ada Kak, aku baik-baik saja."

"Coba kakak tebak, pasti kamu masih bingung tentang lamaran Fahmi?"

Maudy mengangkat kepalanya menatap Azzam, ucapannya benar. Maudy sedang mengkhawatirkan lamaran Fahmi yang hingga kini masih setia menunggu jawab darinya. Sedangkan Maudy sendiri masih bayak pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum mengambil keputusan.

"Sebenarnya iya, Kak," ujar Maudy ragu.

"Apa lagi yang kamu bingungkan? Fahmi seorang lelaki yang baik, insyaallah dia akan menjadi suami yang baik untukmu."

"Aku ragu dengan profesinya."

"Ada apa dengan profesinya?"

"Aku takut sesuatu yang terjadi padanya, aku hanya ingin menikah satu kali untuk selamanya."

"Belumlah menikah kamu sudah bersu'uzhan padanya, bagaimana nanti sudah menikah. Ingatlah Maudy, jodoh kita itu yang setara dengan kita. Jika dia melakukan hal yang buruk, bisa jadi memang ada yang tidak baik dalam dirimu. Jangan lupa, usiamu sudah cukup dan mau sampai kapan kamu sendiri."

Apa yang dikatakan oleh Azzam memanglah benar, sudah waktunya Maudy untuk berumah tangga. Selain itu, kepribadian akan menentukan masa depan pasangan. Bukan hanya cara pandang, tetapi pola pikir dan juga perasaan lain yang sulit untuk dijelaskan.

"Tapi Kak, semuanya tidak bisa dilakukan begitu saja dan mendesak. Bukankah semuanya harus dipertimbangkan dengan baik? Dia akan menikah denganku dan kita akan hidup bersama selamanya. Salahkah aku memilih yang terbaik untuk masa depanku, bukan satu dua hari tapi untuk selamanya?"

"Kamu tidak salah, baiklah semua keputusan ada padamu. Kakak hanya menyarankan agar kamu tidak terlalu lama mengambil keputusan, seorang lelaki juga ingin diberikan kepastian tidak hanya seorang perempuan. Selain itu, lelaki biasanya memiliki pertimbangan wanita lain untuk dijadikan istri bukan cuma denganmu saja."

"Iya Kak, Maudy juga mengerti."

"Baiklah, Kakak ke kamar dulu. Tidurlah, besok kamu harus beraktivitas kan?"

Azzam meninggalkan kamar Maudy, Maudy lalu mengambil air wudhu di kamar mandi. Kemudian dia menggelar sejadah dan melaksankan shalat dua rakaat, lalu dilanjutkan berdoa. Kali ini, Maudy ingin benar-benar memohon kepada Allah agar diberikan jalan keluar dan ketetapan hati atas keputusan yang diambilnya.

"Ya Allah, duhai Tuhan semesta alam. Tiadalah duka yang datang kepada kepadaku, melainkan kebimbangan antara memilih atau justru menolaknya. Tolong berikanlah aku petunjukk-Mu, sebagaimana yang aku tahu bahwa semua yang menyangkut kehidupanku telah engkau gariskan. Jika memang ikhwan yang datang ini adalah yang terbaik, tolong tunjukkan aku cara bagaimana berbicara padanya. Akan tetapi, jika ini sebaliknya, tolong tunjukkan padaku bagaimana cara menolaknya dan pertemukanlah aku dengan lelaki terbaik yang engkau pilihkan untukku."

Maudy menutup doanya dengan beberapa wirid dan istighfar, kemudian membereskan perlengkapan shalatnya. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur, sambil berdzikir ia perlahan menutup matanya. Malam telah melenyapkannya dalam mimpi-mimpi panjang.

***

"Saya terima nikahnya Maudya Ayyunda Harist binti Harist Iskandaria (alm) dengan maskawin tersebut, dibayar tunai."

"Bagaimana sah?"

"Sah..."

"Alhamdulillah.."

Maudy pun mencium tangan suami, sang lelaki mengecup kening istrinya. Setelah selesai urusan akad nikah, keduanya lalu berjalan menuju pelaminan. Mereka terlihat serasi, cantik dan tampan sekali.

"Mbak, emh, Maudy," panggil lelaki itu gugur menyembutkan namanya.

"Panggil saja Maudy, kita sudah menikah."

"Baik, dan mulai hari ini kamu panggil aku Fahmi."

"Iya, terima kasih sudah bersedia menjadi imamku."

Keduanya tersenyum malam di kamar pengantin mencobah memecahkan kecanggungan. Setelah prosesi akad nikah dan juga resepsi, mereka akhirnya bisa menghabiskan waktu berdua.

"Seharusnya aku yang berterimakasih, karena kamu sudah membukakan pintu hatimu untukku. Aku mencintaimu, sungguh."

"Aku juga mencintaimu, sungguh." Fahmi mengecup kening Maudy.


BELENGGU CINTA NURHAYATI (end)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt