Sosok Pembawa Keberkahan

181 7 4
                                    

Kala itu angin sore menghempaskan aroma wewangian dengan desiran syahdu, bagaikan nyanyian riak ombak diantara pesisir pantai. Hamparan kebesaran Allah terlihat jelas dihadapannya. Sore itu, saat tiada orang yang bertegur sapa dengannya, ia asyik dengan lamunannya. Sesekali angin sore menerpa ujung jilbabnya.

Gadis cantik berkulit putih dengan sejuta pesona yang dihadirkannya, entah siapapun yang bersamanya akan selalu merasa damai dan bahagia. Bagi keluarganya, dia adalah cahaya untuk kehidupan mereka. Cahaya yang menerangi perjalanan hidupnya, cahaya yang lebih terang dari sinar matahari bahkan rembulan sekalipun. Seperti namanya, Nurhayati. Nama yang cukup indah diberikan oleh kedua orang tuanya untuk dirinya. Maha Suci Allah yang telah menciptakan manusia dengan ciptaan yang terindah di sisi-Nya, Allahu akbar.

"Nur," sapa seseorang dari arah belakangnya.

Seseorang menyentuh pundaknya. Seorang gadis yang tidak kalah cantik dengan dirinya berdiri di sampingnya sambil melayangkan senyuman termanis.

"Maudy, ada apa?" tanya Nurhayati kemudian seraya menolehkan wajahnya menghad gadis bernama Maudy.

"Aku mencarimu kesana-kemari, ternyata kamu disini."

"Hanya tempat ini yang dapat memahami diriku, aku hanya ingin sendiri. Tadabur alam, sesekali kita harus menyaksikan betapa indahnya Allah menciptakan alam semesta ini. Bunga yang begitu cantik, pohon yang begitu rimbun, langit yang begitu indah, dan semua ciptaan yang Allah hadirkan di dunia ini. Ah, alangkah indahnya," jelas Nurhayati.

"Allah menciptakan semua ini sesuai pada tempatnya, dan ini semua ada manfaatnya. Contohnya air, meskipun bening tak bergerak kita tidak dapat hidup tanpa air. Semua makhluk hidup membutuhkan air, termasuk benda mati," tambah Maudy.

"Allah Maha segalanya ya, Maudy?" tanya Nurhayati memastikan opininya.

"Iya, tidak ada yang setara dengan-Nya, Dia-lah Tuhan yang Esa."

"Aku ingin menikmati alam ini, merasakan nikmat yang Allah berikan," ucap Nurhayati sambil melayangkan pandangan melihat keindahan alam.

"Taddabur alam sih boleh, tapi jangan lupa dengan waktu."

"Maksudmu apa?"

"Ini hari jum'at loh, kita ada agenda di rumah singgah."

"Aku ingat kok, hanya saja aku ingin sejenak duduk di sini sambil memandang sesisi danau."

"Hmm, kamu tuh setiap hari ke sini. Memangnya tidak pernah puas menyaksikan danau yang tidak pernah berubah dari hari ke hari."

"Aku tidak pernah setenang ini, selama ini hanya duduk saja tanpa berpikir dengan keindahan alamnya."

"Ya sudah, taddabur-nya nanti dilanjut lagi. Sekarang, kita memiliki kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Kasihan, anak-anak sudah menunggu kita di sana."

Maudy menarik paksa lengan Nurhayati, dan dengan terpaksa ia juga beranjak dari tempat duduknya. Dia melangkah menjauh dari danau, seolah ada jejak melangkah dan menjauh.

Nurhayati, selain cantik ia juga pandai dan mudah dekat dengan anak-anak. Diusianya yang tidak begitu muda juga tidak begitu tua, 25 tahun. Seorang gadis yang terlahir dari keluarga yang sederhana, dia tetap bersikeras membesarkan rumah singgah untuk anak-anak yang kurang mampu.

Bersama dengan Maudy sahabatnya, ia dengan sabar mendidik anak-anak penuh kasih sayang seperti anaknya sendiri. Hanya saja, dengan usianya yang menginjak 25 tahun sering kali menimbulkan pertanyaan. Gadis secantik dirinya belum menikah, tentu kemungkinan kecil jika tidak ada lelaki yang melamarnya. Kecuali, Nurhayati sendiri yang menolaknya.

BELENGGU CINTA NURHAYATI (end)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant