Ya Tuhan pria itu di sampingku

25 3 0
                                    

Dengan sisa tenaga yang ada, aku membuka pintu mobil.

Klik

Tubuhku condong dengan kepala menyentuh jalanan. Sedangkan posisi ghea sekarang menduduki tubuhku.

Tik ! Tak ! Tik ! Tak !

Bunyi bolpoin itu masih terdengar. Ghea yang sekarang ada di atas tubuhku, masih melakukan penyerangan.

Uuuugggght

Darah bekas tusukan pada bagian leher, mengucur ke arah wajah dan kepalaku yang posisinya ada di bawah.

“Tho-long ! Hah!”hanya meneriakan satu kata itu saja aku tidak punya tenaga lagi. Setiap helaan napas terasa berat. Dan sekarang, darah itu kini malah memasuki mataku.

Membuat pandanganku terhalang untuk melihat keadaan sekitar. Tidak tahu , apakah ada orang yang menyadari keadaanku.

Deg ! Deg ! Deg !

Jantung tidak lagi berpacu dengan waktu. Detaknya mulai melemah. Bahkan untuk mengerjapkan mata saja aku sudah tidak bisa.

Sudah pasrah dengan nasibku. Pasrah jika aku harus tewas di tangan gadis usia 19 tahun ini.

Semakin berjalannya waktu, hanya hitungan detik. Aku sudah tidak lagi merasakan apapun.

Kesadaranku hilang, saat merasakan tusukan kuat terakhir.

***
Cup cup cup cup

Seperti merasakan kecupan dingin di seluruh wajah. Meski dalam keadaan lelah, aku berusaha membuka mata.

“Kamu lelah ya Niana? Lelah menangis dan lelah harus mencari keadilan untukku?”

Melihat sosok yang duduk di ranjang, membuat tubuhku bergetar. Tangisku pecah.

Tangannya yang dingin menyentuh wajahku. Mengusap air mata yang bersarang di sana.

Tiba-tiba Talitha yang ada di hadapanku, merebahkan kepalanya di dadaku. Dia ikut menangis bersamaku.

“Coba saja waktu bisa diputar kembali. Aku tudak akan melakukan hak konyol. Hal yang akan membuat diriku masuk ke dakam bahaya, dan memisahkan kita. Seandainya aku tahu batas unurku, aku akan kebih banyak menghabiskan waktu denganmu Niana.”

Dadaku sesak mendengar kalimat yang keluar dari mulut adikku. Aku sadar Dia sudah pergi, dan sosoknya disini hanya ilusi saja.

Untuk sesaat aku tidak dapat mengeluarkan suara. Hanya bisa merangkulkan tanganku ke kepala adikku. Dulu semasa dia hidup, jarang sekali aku berlaku manis padanya.

Biasanya kami akan duduk di depan televisi di ruang tengah, membiarkan televisi menayangkan siarannya. Sedangkan kami sibuk dengan ponsel kami masing-masing.

Namun saat dia pergi, rasa rindu itu selalu menyerang. Rindu itu bagaikan cambukan bagiku. Bahkan rindu itu membawaku kepada penyesalan. Kenapa aku menangis sekarang?  Kenapa saat dia ada disampingku, aku tidak memeluknya? Kenapa aku tidak bisa menempatkan diri sebagai sahabat bagi adikku sendiri ?

Semakin erat aku memeluk kepala adikku. Jika ini mimpi, aku tidak ingin terbangun. Buatlah aku bermimpi dalam tidur panjangku. Bahkan, aku bersedia jika aku harus meninggalkan dunia ini. Asalkan aku bisa bertemu dengan keluargaku.

Rasanya menyedihkan jika harus hidup di dunia ini sendirian. Aku tidak akan kuat.

"Niana,maafkan aku. Aku menyesal, karena di malam itu aku memukulmu. Apa hidungmu masih sakit?" Wajah basah adikku mendongak.

"Siapa yang berani memisahkan kita?" Aku menyentuh wajahnya yang basah itu. Wajah yang tidak akan bisa ku lihat ketika aku bangun.

"Pria itu....pria dengan tanda hitam yang besar di punggung tangan. Dia menghajarku. Hari itu, adalah hari terburuk. Dia menyiksaku sebelum membunuhku." Tatapan adikku mengawang.

jasad adikku Di plafon Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ