leher ibu Jimmy yang patah

13 1 0
                                    

Dingin...

Wajahku terasa dingin saat bersentuhan dengan kulit Bian. Mendongak kepala ke atas, melihat pria itu yang memejamkan mata. Aku menggeser tubuhku untuk menjauh, melepas dekapannya.

Tangan itu terkulai lemah.

Sedikit gugup, mengeluarkan tangan dari selimut. Menaruh dua jariku di bawah hidungnya. Namun tidak merasakan hawa hangat. Napasku tertahan. Aku menyadari sesuatu yang buruk tengah terjadi.

Gemetar saat aku menaruh dua jari di lehernya. Namun tidak merasakan detakan di sana. Bahkan dia tidak bangun, saat kepalaku mencoba mendengar detak jantungnya.

Benar-benar tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi.

Aku yang tadinya berbaring, segera bangkit dan duduk di hadapan pria itu. Aku merasa darahku berhenti mengalir.

"Bisakah kamu bangun? Jangan menakut-nakutiku!" Aku menepuk wajahnya berkali-kali. Tepukan kasar bahkan tidak membuatnya bangun dari tidurnya.

"BISAKAH KAMU BANGUN SEKARANG?"

Kali ini aku berteriak di hadapan wajahnya, mengguncang tubuhnya dengan kuat. Tubuhku gemetar menyadarkan bahwa yang aku takutkan terjadi.

Dia masih terlelap saat aku mengguncangkan kasar tubuhnya.

Ternyata semua pembohong. Berkata bahwa mereka akan selalu ada. Nyatanya pergi tanpa pamit padaku.

Benar-benar sesak di dada. Air mata jatuh, saat aku mengedipkan mata. Menangisi pria yang tidak kunjung membuka mata, saat aku mengguncang tubuhnya.

"Sendiri lagi? Aku harus berjuang sendiri? Kenapa semua orang meninggalkanku? Kenapa semua orang berbohong?" Menangisi dengan kepala tertunduk.

"BISAKAH SEGERA BANGUN?"

***

"Sssst! Sssstt! Niana? Niana?" Sentuhan halus di kepala membangunkanku.

Membuka mata, dan melihat mata sayu itu menatapku.

"Siapa yang berbohong? Siapa yang meninggalkanmu? Niana... apa kamu mimpi buruk?" Dia mengguncang tubuh secara perlahan.

"Kamu jangan pergi! Jangan lagi menakuti-nakutiku. Kenapa harus bangun dengan tubuh yang dingin? Kenapa diam saat aku membangunkan mu? Kenapa tidak ada deru napas?" Aku mengatur nafasku yang sesak.

"Niana, aku baik-baik saja... tidak ada tubuh yang dingin. Kamu hanya bermimpi. Tidak ada yang meninggalkanmu.

Tangannya menyapu wajahku yang basah.

Fuuuuh!

Dia meniup wajahku.

"Aku masih bernapas Niana.... tenanglah. Tidak ada yang meninggalkanmu. Aku tidak berbohong!" Dia mencoba menenangkanku.

Seperti anak kecil, aku membenamkan kepalaku di tubuhnya. Kalimat yang diucapkan sebelum tidur, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia akan pergi.

"Kamu menangis karna takut aku pergi? Iya?" Dia mendekapku semakin erat.

"Niana... Aku tidak akan  berbohong. Aku tidak akan pergi. Kalau aku pergi, aku harus memastikan hidupmu akan baik-baik saja setelahnya."

Membiarkan dia mendekap tubuhku. Merasa senang, saat aku dapat mendengar detak jantungnya. Tadinya aku pikir, Tuhan akan mengutuk lagi. Mengambil orang-orang yang ada di dekatku, dan membiarkan aku sendirian.

***

TOK! TOK! TOK!

Ketukan di pintu apartemen Bian.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang