Rumah jagal dan rahasia Didalamnya

12 1 0
                                    

Ah bodohnya Aku.

Kenapa aku mau ikut dengan? Padahal dia adalah orang yang selalu aku hindari. Lihatlah aku yang bodoh ini, sekarang duduk berdua di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Ban mobil tiba-tiba berdecit. Berhenti di tepian jalan yang cukup sepi. Bian yang ada di sampingku, pindah ke bangku bagian belakang.

Mataku memperhatikan Bian, yang tengah melepaskan pakaiannya yang basah. Lampu dari kendaraan lain, menyoroti tubuh berwarna kecoklatan itu.

Saat pakaian terlepas, aku dapat melihat beberapa luka baret di dada dan juga bagian pinggangnya.

"Apa kamu tidak malu memperhatikan orang lain yang sedang berganti pakaian?" Kalimat itu meluncur dari mulutnya.

"Bagaimana kalo seandainya tadi, aku ikut masuk ke dalam rumah, dan memperhatikanmu berganti pakaian?" Sambungnya.

Aku bergegas memalingkan wajah, membiarkan dia sibuk dengan urusannya di belakang.

Hanya dalam hitungan menit, dia kembali ke bangku kemudi.

"Kita ke mana?" Ini kali pertama Aku mengeluarkan suara selama di perjalanan.

Dia hanya menoleh namun tidak menjawab pertanyaanku.

Setelah 30 menit perjalanan, aku menyadari mobil milik Bian kembali melewati jalan menuju rumah Ronald dan Leo.

"Kita akan kembali ke rumah Ronald dan Leo?" Tanyaku padanya.

"Ya." Sesingkat itu dia menjawab pertanyaanku.

"Kalau begitu turunkan aku di sini! Aku tidak ingin kembali ke tempat itu," ucapku dengan nada panik.

Dia menoleh padaku dan memperlihatkan wajah yang tidak ramah.

"Menurunkanmu di sini? Yang benar saja. Bukankah kamu gadis pemberani? Bahkan kamu berani mendatangi pabrik milik ronald bersama temanmu itu. Lalu apa yang kamu takutkan sekarang?" Ucapnya dengan nada datar.

Kalimat itu mampu membuatku terdiam. Tatapanku kembali terarah pada jalanan. Ingin sekali melarikan diri, melompat turun dari mobil.

"Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu! Karena jika aku menceritakannya padamu, kamu mungkin tidak akan percaya."

"Tapi itu artinya kita akan bertemu dengan Ronald..." Ucapku perlahan.

"Hari ini jadwalnya Ronald ke luar kota!"

"Bagaimana seorang bapak bisa keluar kota setelah mendapati anaknya tewas menjadi santapan harimau?"

"Dia belum tahu perihal itu."

Hampir satu setengah jam perjalanan. Akhirnya mobil Bian berhenti di depan pabrik penggilingan daging.

"Kita jalan kaki...." Ucapnya.

Bian turun terlebih dahulu dan membukakan pintu mobil untukku. Tanpa minta izin tangan kekar itu meraih tanganku lalu menarikku keluar dari mobil.

Aku menelan ludah berkali-kali. Kerongkonganku terasa kering. Aku takut pria ini sedang berusaha menjebakku. Tapi sudah kepalang tanggung, aku tidak bisa lari darinya. Penyesalan selalu datang belakangan, harusnya aku tidak mengiyakan ajakannya.

Sekitar 15 menit perjalanan yang ditempuh dengan jalan kaki, akhirnya kami sampai di depan gerbang yang menjulang tinggi itu.

Rumah megah khas Eropa klasik ini berdiri di tengah-tengah pemukiman yang sepi. Tidak dapat dilihat dari jalanan. Perlu waktu sekitar 15 sampai 20 menit dari jalanan sepi untuk sampai ke sini.

Pada bagian depan rumah hanya ada satu lampu yang menyala. Yaitu lampu teras bagian depan. Sedangkan lampu taman dibiarkan mati.

"Jangan berisik dan jangan banyak tanya. Meski terlihat sepi, di sini banyak anak buah yang sedang berjaga. Mungkin mereka tidak akan menyakitiku, tapi mereka bisa menyakitimu yang dianggap orang asing. Jadi nyawamu ada pada mulutmu sendiri. Jika suara itu didengar oleh mereka, aku tidak akan bertanggung jawab atas hidupmu." Bisa-bisanya dia mengeluarkan kalimat seperti itu. Padahal dia sendiri yang membawaku kesini.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now