Tuk! Tuk! Tuk!

12 2 0
                                    

Puk! Puk! Puk!

Setiap kali aku hendak memejamkan mata, Bian yang tengah mengemudi menepuk pipiku.

"Jangan memejamkan mata. Aku tidak ingin malaikat maut menjemputmu. Yakinkan aku bahwa aku akan bertahan sampai ada pertolongan."

Wajah pria yang selalu aku takuti itu, tampak panik. Dia tidak fokus mengemudi. Sedari tadi selalu menoleh, untuk memintaku tetap membuka mata.

Dia mengabaikan luka di setiap tubuhnya. Tidak menyeka darah yang mengalir dari pelipis. Membiarkan darah itu mengalir melewati rahangnya yang tegas. Seolah-olah dia terbiasa dengan luka di setiap tubuhnya.

Banyak hal yang aku ingin tanyakan padanya. Banyak hal yang belum dia jelaskan. Ini tentang pernyataan Ghea, pernyataan tentang Bian yang menjadi pelaku pembunuhan adikku. Jika memang benar, untuk apa semua ini? Kenapa dia harus mati-matian menolongku?

Jika memang terbukti... Aku harap pria yanh ada di hadapanku juga mengalami nasib tragis. Jauh lebih tragis dari apa yang adikku alami.

Setiap kali membuka mulut hendak bertanya, tapi tidak ada satu patah kaya pun yang keluar.

Aku bingung bagaimana cara menanyakan apa yang menjadi beban di benakku.

"Aku lelah..." Bersusah payah aku mengucapkan kalimat itu.

Aku harap dia tidak akan menepuk pipiku lagi, ketika aku memejamkan mata.

"Setengah jam lagi kita akan sampai..." Suara itu bergetar. Tidak terdengar garang lagi seperti sebelumnya. Dia meraih tanganku, lalu menaruhnya di dada.

Entah kenapa aku tidak ingin rasa sakit ini menghilang. Aku ingin menikmatinya. Aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi adikku. Ini jauh lebih adil.

Merasakan dingin yang berbeda dari biasanya. Dingin yang menusuk di setiap pori-pori tubuh. Setiap sendi terasa ngilu.

"Aku tidak percaya pada tuhan... lalu pada siapa aku memohon? Aku memohon padamu Niana, jangan pergi." Dia mendekap tanganku di dadanya yang basah.

Dia menangis.

Bertingkah seolah-olah Aku ini adalah orang terdekatnya, lebih tepatnya memperlakukan aku seperti kekasihnya.

Dia menunjukkan perlakuan berbeda. Padahal dulu dia selalu menakuti-nakutiku. Selalu datang hanya untuk membuatku lari. Ingin sekali bertanya, tapi aku tidak punya tenaga untuk itu.

Hanya ada satu pertanyaan...

Kenapa? Kenapa melakukan semua ini, saat banyaknya tuduhan dilayangkan bahwa dia adalah pelaku pembunuhan adikku.

Tidak tahu apakah pertanyaan itu akan terjawab nanti. Atau pertanyaan itu akan berlalu dan tidak menemukan jawaban. Karena salah satu diantara kami, pergi meninggalkan dunia ini.

Mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku.

Pria itu tidak berganti meracau.

"Malaikat maut tidak boleh mendekatimu. Malaikat maut tidak boleh mengajakmu pergi!" Kalimat yang berulang kali dia ucapkan saat mengibaskan tangan di depan wajahku.

Tidak ada lagi kesan garang. Dia malah seperti orang yang berbeda.

Aku merasa permukaan kulit bibirku kasar. Aku benar-benar dehidrasi. Menelan ludah berulang kali, hanya untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Tenggorokanku seperti tercekat.

Tanganku meraba power window yang ada di sampingku, untuk membuka jendela kaca. Tidak dapat melakukan banyak pergerakan, karena menimbulkan sakit di beberapa bagian tubuh. Aku memilih untuk menengadahkan kepalaku, melewati jendela kaca mobil.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now