pesta yang menghilangkan banyak nyawa

4 1 0
                                    

"Kamu berkeringat. Dan... Noda apa ini?" Tangannya menyapu leherku.

Ronald menggesekkan kedua jarinya di hadapan wajahku.

"Kamu terluka sweetie?" Tanyanya seraya menyipitkan mata.

Setiap Ronald berbicara, dia selalu mendekatkan wajahnya  ke wajahku. Dan itu membuatku harus menahan napas.

Aku hanya menggeleng pelan.

Hal yang tidak terduga, tangan Ronald menyentuh topeng yang aku kenakan. Secepat kilat, aku mencegat tangannya saat hendak melepaskan tali topeng.

"Aku nyaman menggunakan topeng ini. Bisakah kamu tidak menyentuhnya?" Ucapku memegangi tangannya.

"Tidak masalah untuk saat ini, mungkin aku bisa melakukannya jika hanya ada aku dan kamu dalam satu kamar. Tidak hanya membuka topeng, tapi yang lainnya..." Bergidik tubuhku saat Ronald mengucapkan kalimat itu.

"Kapan kita bisa bersenang-senang?" Bisik Ronald di telingaku.

"Bersenang-senang?"

"Ya... bersenang-senang. Ingatkah kamu saat kita berada di bar? Kamu menyentuh dada dan juga bok*ng ku. Tapi aku ingin lebih dari itu?" Pria paruh baya itu mengelus bulu tipis yang memenuhi wajahnya.

Ronald menjauhkan tubuhnya, sedikit memberi jarak. Matanya menatapku dari atas sampai bawah.

"Pakaian ini tidak cocok untukmu. Begitupun dengan riasan di wajah. Ini membuatmu terlihat tidak ada bedanya dengan gadis-gadis yang lain." Ronald menyentuh bibirku.

Ibu jarinya, berusaha menghapus lipstik merah yang aku kenakan.

"Aku akan meminta pelayan untuk membawakan baju ganti, dan mendadani mu. Aku lebih menyukai, dandanan dan pakaian yang kamu kenakan saat live streaming di aplikasi BIMBIB." Ucapnya.

"Ronald... Apakah tidak ada pesta penyambutan untukku?" Ucapku pada pria paruh baya yang ada di hadapanku ini.

"Kamu ingin pesta? Aku bisa mengabulkannya malam ini juga..." Dia menggosokkan telapak tangannya di hadapanku.

"Ya, Ronald... Aku ingin pesta malam ini. Ditemani lampu redup dan juga suara musik. Aku ingin, suasana rumah disulap menjadi sebuah bar. Apa kamu mau mengabulkannya?" Meski takut berhadapan dengan pria paruh baya ini, aku berusaha membujuknya.

Kuharap saat lampu dan suara musik menggema, Dira bisa membawa Pamela turun kebawah dan keluar dari rumah ini.

Bian yang ingin mendekat, ditahan oleh seorang perempuan. Wajahnya tampak khawatir, di saat seorang pelayan membawaku masuk ke dalam sebuah ruangan.

Ruangan untuk aku berganti pakaian, dan kembali berdandan. Sedangkan Ronald, meminta anak buahnya untuk merubah dekorasi rumah hanya dalam beberapa jam.

Dress dengan bahu dan punggung terbuka, diserahkan padaku. Namun sebelumnya pelayan memoles bibirku dengan lipstik berwarna pucat.

"Bisakah buka topengmu Nona?"

Aku menggeleng.

"Oke baiklah..."

Pelayan tidak hanya menyapukan bedak di area pipi dan juga dagu, akan tetapi juga di bagian bahu, menutupi beberapa luka memar di sana.

Berkali-kali menghela napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Aku sangat takut, jika berada di dekat Ronald. Tapi untuk beberapa jam kedepan, mau tak mau aku harus menemaninya. Sampai Dira dan Pamela keluar dari rumah ini.

Ada Bian di luar sana. Tampak dia berusaha untuk mendekati, tapi beberapa perempuan menahannya. Kurasa tidak perlu dipertimbangkan. Dia biasa diperlakukan seperti itu.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now