A-ku Nia-na

10 2 0
                                    

Tiga orang pria dewasa, berhasil menemukan aku dan Bian yang ada di ruang mesin penggilingan daging.

"Aku tidak ingin berkelahi... untuk gadis satu ini, jangan sakiti." Bian menghalangi tiga pria itu mendekati aku yang terbaring di lantai.

Sudah jelas mereka berteman. Terlihat dari cara Bian berbicara dengan mereka.

Salah satu diantara mereka mengabaikan larangan Bian. Berlari menerobos tubuh besar Bian untuk menghampiriku.

Sangat kasar, pria dengan kepala plontos itu, mengangkat pinggangku lalu menaikkan tubuhku ke bahunya.

"Apa kamu ingin berkhianat lagi? Dulu kamu sempat membebaskan gadis yang berani-beraninya masuk ke dalam ruang rahasia. Apa sekarang juga begitu? Kita dibayar untuk menjaga keamanan Ronald, siapa yang berani menyelinap untuk menganggu, harus dibawa menemui ronald, atau... kita habisi."

Kalimat itu keluar dari mulut pria yang tengah menggendong tubuhku. Aku pasrah dengan kepala yang terjuntai ke bawah. Aku benar-benar tidak punya tenaga lagi untuk memberontak.

"Aku tidak ingin ada pertengkaran diantara kita. Aku akan membawanya pergi, dan memastikan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke sini."

Bian menghalangi pria berkepala plontos yang tengah menggendong tubuhku.

"Menyingkir lah! jangan jadi pria bodoh karena wanita. Hidupmu bisa dihabisi oleh Ronald, jika dia tahu kamu membawa perempuan sialan ini masuk ke dalam gudang penggilingan," ucap pria lainnya.

Dadaku terasa sesak. Pukulan dari Ghea membuat ulu hatiku terasa ngilu. Perutku mual sekarang.

Cairan hangat keluar dari hidungku. Darah itu menetes dan mendarat di lantai. Tidak dapat menghentikan darah yang keluar, mengingat kepalaku terjuntai ke bawah. Darah yang mengalir seperti air keran.

"Dia terluka!"

Aku merasakan tangan kekar itu menarik pinggangku yang berada di pangkuan pria berkepala plontos ini.

Saat tubuhku tidak lagi di pangkuannya, pria berkepala plontos menarik tanganku dengan kasar.

"Ugggghhhtttt!"

Aku mengerang saat merasakan hentakan kuat di tanganku. Hentakan yang membuat isi kepalaku ikut bergoncang.

Tangan Bian berusaha melepas cengkraman pria itu, mengangkat tubuhku menjauhi mereka bertiga yang menghalangi jalan keluar.

"Aku tidak ingin kita terlibat pertempuran darah. Jadi... Beri aku jalan." Bian yang tengah mengangkat tubuhku, berusaha menerobos barisan teman-temannya.

Tiga orang itu malah mendorong tubuh Bian. Salah seorang dari merek, menghantam lutut Bian hingga tersungkur.

Sedangkan aku benar-benar pasrah. Bernapas saja membuatku lelah. Tubuhku tidak sekuat itu, yang bisa berlari dan melawan setelah mendapat hantaman kuat di beberapa bagian.

Tangan kekar itu memegangi kepalaku, menahan agar kepalaku tidak bersentuhan langsung dengan lantai. Tubuh kami sama-sama terbaring.

Aku menahan napas, saat seorang pria bertubuh tegap mengangkat kaki hendak menghantam bagian perutku. Namun Bian yang ikut tersungkur di sampingku, merangkak untuk melindungiku.

Tubuhnya berada di atas tubuhku. Wajahku dan wajahnya hanya berjarak 5 cm. Keringat itu menetes menimpa wajah.

Dia mengigit bibi, menerima serangan pukulan dan tendangan dari teman-temannya. Dia tidak melawan. Menjadikan tubuhnya pelindung untuk menghalangi serangan yang ada di atas sana.

"Ugggghhhtttt!" Wajah tegas itu memperlihatkan urat-uratnya. Dia tidak berniat berangkat sedikitpun dari atas tubuhku.

Kepalaku mendongak ke atas, mulutku sedikit terbuka. Hantaman seseorang mendarat di bagian pinggang. Rasanya aku ingin mati saja, tidak kuat menahan sakit akibat hantaman pria yang menggunakan sepatu kulit itu.

jasad adikku Di plafon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang