pergi tanpa pamit

4 1 0
                                    

Meski Jimmy membawaku lari menjauh, tapi hawa panas itu masih terasa. Mataku menatap kobaran api yang semakin besar. Sedari tadi mataku masih mencoba, mencari sosok Bian.

Di antara tubuh anak buah Ronald yang terbakar, dan berjatuhan di tanah, aku tidak tahu apakah ada Bian diantaranya.

Menatap ke lantai 2, tidak ada lagi Dira yang berdiri di depan jendela. Hanya ada kobaran api yang melambai di antara celah jendela.

Terngiang ucapan yang keluar dari mulut Dira.

"Aku ingin bertemu ibu..."

Ya Tuhan, perih sekali mendengar kalimat singkat itu. Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, belum sempat aku mengucapkan kata maaf. Dia pergi dan menghilangkan sekarang. Mengingat lambaian terakhir, sebelum tubuhnya dilalap api.

Aku juga ingin bertemu dengan keluargaku Dira. Tapi aku tidak memilih cara itu untuk pergi.

Terima kasih telah meninggalkan kesan baik. Mau menolongku dan juga temanku. Aku harap kamu bertemu dengan ibumu. Bahagia di alam sana.

Menangis sesenggukan di pangkuan Jimmy. Jimmy berhenti, dan menjatuhkan tubuhku di atas rerumputan.

"Kenapa Niana? Bagian mana yang sakit?" Jimmy panik.

"Aku kehilangan temanku..." Menutup wajah menangis sesenggukan.

"Pamela ada di mobil sekarang, Niana..."

Aku menggeleng.

Aku kehilangan teman baruku, Dira. Dan juga, kehilangan Bian..."

Helaan napas panjang dari Jimmy. Matanya sayu menatapku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya, hanya untuk menenangkan. Karena dia sudah pasti tahu apa yang terjadi pada Bian dan Dira yang berada di rumah Ronald.

Dia melepas kemejanya, menutupi tubuhku yang terbuka. Kembali mengangkat tubuhku, melewati pabrik penggilingan daging. Dari balik punggungnya, aku dapat melihat letupan api besar yang menjalar di bangunan rumah Ronald. Api yang hampir membakar separuh dari rumah itu.

Klik!

Saat masuk ke dalam mobil, sebuah tangan mendekapku dari belakang.

"Niana... aku pikir tuhan akan memisahkan kita," ucap suara Pamela dari belakang.

Aku membalikkan badan, merangkulnya seerat mungkin. Tadinya aku juga berpikir begitu. Tapi Tuhan masih berpihak padaku.

Mungkin ujian ku sangat berat, tapi aku memiliki orang-orang terdekat yang sangat tulus. Tidak ada pengkhianat disini. Mereka rela bertaruh nyawa demi aku.

Mungkin jika tidak ada cobaan, aku lupa apa itu arti perjuangan hidup. Sekarang aku mungkin sedang berkumpul dengan teman-temanku, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.

Mungkin tidak akan adil bagi orang yang ditimpa musibah bertubi-tubi sejak dia dilahirkan di atas bumi ini.

Tangan Jimmy menyentuh kepalaku, yang tengah memeluk Pamela.

"Kita pulang sekarang..."

***

Entah bagaimana reaksi orang tua Pamela, saat melihat anaknya terluka parah pada bagian kaki.

"Jangan tegang begitu... Aku tidak akan memberitahu orang tuaku, kalau kita habis berperang barusan." Pamela memegangi bahuku.

Baru saja aku dan Jimmy hendak turun membantunya, namun pamela mencegah.

"Aku bisa sendiri... tenang saja." Pamela berjalan dengan sebelah kaki yang diangkat.

Bersikeras dia tidak mau dibantu. Berjalan pelan menuju pekarangan rumah.

jasad adikku Di plafon Where stories live. Discover now