Part 8 : Cinta Pertama Gus Afdhal

27 6 4
                                    

Gus Afdhal melihat gadis yang sudah menjadi istrinya itu terisak sambil memeluk orang tuanya. Mungkin dia tidak ingin berpisah dengan orang tuanya.

Saat Balqis melepas pelukannya dari kedua orang tuanya, Gus Afdhal hampir saja dibuat tertawa oleh wajah Balqis. Dia sempat berpikir apakah Balqis tidak sadar dengan wajahnya. Matanya sudah hitam, bulu mata sebelah kiri sudah terlepas, hanya tinggal sebelahnya saja. Agak terihat aneh jika hanya dengan satu bulu mata saja. Wajah gadis itu sudah tidak bisa lagi dibilang cantik. Iya, Balqis cantik, Gus Afdhal tidak pungkiri itu. Dia putih, hidungnya mancung, bulu matanya panjang, keningnya hitam tebal, tapi begitu cocok baginya.

Setelah orang tuanya pulang, Gus Afdhal dan Bu Nyai mengantarkan Balqis ke kamar Gus Afdhal, kamar yang nanti akan menjadi kamar mereka berdua.

"Kalau Kak, eh, Gus mau mandi, mandi saja dulu. Saya bisa menunggu Gus di luar," kata Balqis yang lupa kalau dia harus memanggil Gus Afdhal dengan sebutan Gus.

Gus Afdhal menerima tawaran Balqis. Lalu, ia meminta permisi untuk ke kamar.

Usai mandi, tadinya Gus Afdhal mau memberitahu Balqis kalau dia akan menjalankan ibadah salat Ashar di masjid, tapi karena Balqis sedang berada di WC dapur makanya dia hanya memberitahu ibunya dan meminta tolong pada ibunya agar nanti sampaikan pada Balqis pula. 

"Kok, salat di masjid, Nak? Abah pikir kamu akan salat bersama istrimu," kata Pak Kiyai kata Pak Kiyai yang sudah lebih dulu ada di masjid.

"Laki-laki wajib salat berjamaah di masjid, Abah. Afdhal yakin Balqis juga paham itu."

Pak Kiyai hanya mengangguk, karena perkataan Gus Afdhal tidaklah salah.

Gus Afdhal merasa tenang karena ayahnya tidak menanyainya lebih lanjut. Sejujurnya Gus Afdhal hanya menjadikan itu sebagai alasan untuk menghindar dari Balqis. Mungkin hatinya belum sepenuhnya terima kalau Balqis sudah menjadi istrinya. Ini karena selain orang tuanya, sebenarnya ada seseorang yang menjadi alasannya untuk pulang, alasan kenapa dia belum bisa menerima Balqis sebagai istrinya.

Afdhal teringat pesan dari Rizki.

"Aku tidak tahu apakah Gus memiliki perasaan pada adikku atau tidak, tapi aku berharap Gus bisa memperlakukan adikku dengan baik. Jangan membuatnya menangis karena dia adikku satu-satunya, adik kesayanganku, dia sudah aku jaga dari kecil. Cukup saja dia disakiti oleh lelaki itu kemarin, aku tidak mau ada luka baru lagi."

Rizki juga bercerita pada Gus Afdhal bahwa dia sangat kesal karena tak bisa berbuat apa-apa kemarin saat mendengar lelaki itu membatalkan lamarannya. Jika saja lelaki itu ada di kota ini, mungkin masih ada kesempatan untuk Rizki agar memberi pelajaran pada lelaki itu, sayangnya lelaki itu tidak berasal dari kota ini.

Atas apa yang Rizki katakan itulah yang membuat Gus Afdhal memilih untuk sendiri. Dia membutuhkan waktu, memikirkan bagaimana dia harus memperlakukan Balqis. Dia tidak terlalu mengenal gadis itu, berbicara padanya saja masih terasa canggung, tapi dia harus bisa untuk tidak menyakiti hati gadis itu.

Aku benar-benar tidak tahu bagaimana memperlakukannya dengan baik.

Gus Afdhal menghabiskan waktunya di masjid, ia memilih mengaji agar menenangkan hatinya.

Lalu, telponnya berdering. Ibunya memintanya untuk pulang karena Balqis sudah menunggunya sejak tadi.

Setibanya di rumah, Bu Nyai sudah memarahinya karena terlalu lama meninggalkan Balqis sendiri di hari pertama mereka menikah.

"Le, kok, sampai jam setengah 9 ini kamu masih di masjid. Kasian istrimu, dia sudah menunggumu dari tadi. Ayo, pulang, sekalian kita makan bersama."

Cinta di Penghujung Ramadhan (Revisi)Where stories live. Discover now