Part 15 : Hati Yang Ragu

14 5 0
                                    

"Bu! Ibu!!" panggil Wulan.

"Eh, iya?"

Balqis baru sadar kalau ia sempat melamun. Gara-gara hal yang ia dengar kemarin membuat hatinya masih ragu sama jawaban Gus Afdhal.

"Saya mau bertanya, Bu."

"Iya, silahkan Wulan."

"Berarti parafrase ini fungsingnya untuk menghindari plagiasi, ya, Bu?"

"Benar sekali. Jadi, jangan hanya copy paste saja, tetapi diparafrase juga tulisan kita. Sebenarnya parafrase itu bagus karna bisa melatih kita agar menciptakan kalimat kita sendiri tanpa monoton menggunakan bahasa yang dikutip atau bahasa dari penulis. Selain itu, sudah ada web untuk memudahkan parafrase. Maksudnya parafrase bisa dilakukan secara manual dan bisa juga dilakukan melalui webnya."

"Bu, apakah nanti ada alat-alat gitu yang mengecek plagiasi?" tanya mahasiswa yang lain.

"Iya, ada. Tepatnya bukan alat, ya, melainkan web untuk mengecek plagiasi. Alhamdulillah sekarang kampus kita sudah mengupgrade web tersebut, sehingga tulisan kita sudah bisa dicek plagiasinya."

"Bu, saya juga mau bertanya." Kini giliran Jihad.

Balqis mempersilahkannya.

"Saya penasaran, Bu, cuma saya juga takut."

Balqis mengerut keningnya. "Takut apa lagi kamu? Takut dicek plagiasi juga gara-gara wajahmu pasaran di pasar," celutuk Balqis yang mengundang tawa.

Jihad menggeleng dengan wajah serius. "Wajah saya mungkin pasaran, Bu, tapi hati saya hanya satu khusus untuk Bu Balqis."

"Huuuuu!!!" Sorak sorai anak-anak yang lain.

Jihat memberi isyarat diam dengan menaru jaru telunjuknya di bibirnya.

"Cuma bukan itu yang saya maksud."

"Maksudmu itu selalu berunjung gombal," sahut Wulan.

"Tidak, kali ini saya tidak gombal."

"Terus?" tanya Balqis.

"Saya khawatir Ibu dari tadi malah melamunkan saya. Maaf, ya, Bu, sudah buat Ibu melamun."

"Nah, kan," kata Wulan. "Bu Balqis bukan melamun, tapi sedang berpikir kapan kamu bisa insyaf dari gombalanmu itu."

"Ketika Wulan sudah bicara, aku mah apa atuh!" Jihad menyambung dengan cepat.

Balqis sejak tadi sudah dibuat tertawa. Ia merasa sedikit terhibur karena setiap masuk kelas pasti ada saja lelucon yang dibuat anak-anak didiknya terutama Jihad dan Wulan.

Setelah selesai mengajar, Balqis melanjutkan menulis jurnalnya di meja dosennya. Namun, ia benar-benar tak bisa fokus bahkan semalam Balqis tidak bisa tidur karena terus memikirkan tentang perasaan Gus Afdhap pada Ning Rahma. Benarkah Gus Afdhal tidak sedang menyukai siapa pun?

Sepositif apapun Balqis, tetap saja tak bisa menghindari keraguan ini.

"Wajahmu kenapa asam sekali hari ini," tanya Nining yang baru saja masuk ke ruangan dosen.

"Asam gimana, biasa saja."

"Asam sekali, sudah kaya jeruk nipis."

Balqis hanya tertawa.

"Aku nitip file jurnalku, ya, tolong bantu koreksi."

"Oh riset yang lalu sudah selesai ditulis?" tanya Balqis.

"Alhamdulillah sudah, cuma aku masih berasa ada yang kurang. Jadi, aku butuh masukan darimu."

Balqis mengangguk. "Tulisan Ibu yang kemarin sudah dipublish, kebetulan ada slot di bulan ini."

Cinta di Penghujung Ramadhan (Revisi)Where stories live. Discover now