Part 18 : Kesabaran Itu Ada Batasnya

19 5 2
                                    

Sudah kemarin ini Balqis mengabaikan Gus Afdhal. Gus Afdhal benar-benar bingung harus bagaimana lagi. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Balqis ataukah mungkin dialah yang menjadi masalahnya.

"Koper ini mau kamu bawa ke mana?" tanya Gus Afdhal

"Aku mau pulang ke rumahku."

Gus Afdhal mengerut dahinya. "Pulang? Untuk apa kamu pulang ke rumah?"

Balqis tak menjawab malah ia terus mengisi barang-barang yang ingin dibawanya ke tas.

"Balqis!" panggil Gus Afdhal seraya memengan tangan Balqis.

"Lepaskan tanganmu dari aku!" serunya menjahu dari Gus Afdhal.

"Aku salah apa lagi, Balqis? Aku salah apa sampai kamu seperti ini padaku."

"Gus tanya salah apa? Salah Gus adalah tidak pernah jujur padaku. Aku terus bercerita tentang aku pada Gus Afdhal, setiap masalah yang terjadi padaku selalu aku ceritakan pada Gus Afdhal, bahkan masa laluku pun Gus Afdhal tahu tentang itu, tapi apakah Gus Afdhal melakukan hal sebaliknya? Aku tahu kita menikah karna dijodohkan, aku tahu Gus Afdhal belum mencintaiku, tapi.." Suaranya mulai bergetar. Mengingat tentang ini malah menambah rasa sakit pada hatinya.

Satu persatu air bening itu pun membasahi pipi Balqis. Dia hanya merasa takdir seperti mempermainkannya. Mencintai seseorang yang tidak pernah membalas cintanya. Dia merasa cemburu pada Ning Rahma karena perasaannya berbalas, sedangkan cintanya malah bertepuk sebelah tangan padahal Gus Afdhal adalah suaminya.

"Balqis, aku_"

"Setidaknya Gus Afdhal harus jujur padaku. Jujur saja, Gus, aku malu jika ada orang yang tahu kalau suamiku malah mencintai orang lain. Aku tidak masalah jika Gus belum mencintaku, tapi yang buat aku kesal adalah kenapa Gus harus berbohong padaku bahwa tidak terlalu mengenal Ning Rahma. Kalian selalu ikut kegiatan yang sama, aku tidak yakin Gus tidak mengenalnya karna Gus sudah lama memendam perasaan padanya. Ditambah lagi Gus Afdhal menyembunyikan fakta bahwa Gus adalah pelaku tabrak lari dan kalau korbannya meninggal berarti pelaku tabrak lari itu sama saja dengan pembunuh!"

Deg!

Gus Afdhal terkejut saat mengetahui bahwa Balqis sudah mengetahui masa lalunya. Hal yang selama ini dia sembunyikan pun sudah diketahui.

"Hikss... Aku merasa seperti tidak mengenal Gus Afdhal sama sekali. Aku merasa seperti dibohongi. Apa Ummi dan Abah juga tahu tentang ini? Kenapa kalian menyembunyikan ini dari aku? Kenapa?!"

Balqis mengambil koper dan tasnya.

"Kamu mau ke mana? Dengar dulu penjelasannya_"

"Lepaskan!!" pekiknya menghempaskan tangan Gus Afdhal. "Sudah dari beberapa hari kemarin kemarin aku terus bersabar, aku terus menunggu sampai Gus Afdhal menceritakannya padaku. Aku sudah coba bertanya barangkali ada yang mau Gus katakan padaku, aku sampai mengarang cerita bahwa aku melihat ada kecelakaan tabrak lari hanya untuk mengingatkan Gus Afdhal. Namun, Gus Afdhal tetap diam, Gus tetap menyembunyikan hal tersebut. Lalu, untuk apa lagi menjelaskan sekarang? Aku sudah tidak ingin mendengar penjelasan apa-apa!" jelasnya.

Ya, beberapa hari kemarin Balqis berusaha memberikan waktu pada Gus Afdhal. Dia masih bersabar menunggu agar Gus Afdhal dengan terbuka menceritakan masa lalunya atau apa yang lelaki itu sembunyikan. Fakta bahwa dia menikah dengan seorang pembunuh adalah sesuatu yang mengejutkan sekali. Dia tidak peduli apa yang terjadi di masa lalu, umur berapa Gus Afdhal saat itu karena kenyataannya adalah Gus Afdhal sudah menjadi seorang pembunuh karena telah menabrak seseorang tanpa bertanggung jawab.

Balqis bukanlah gadis yang dengan gampang menerima masa lalu orang lain apalagi hal itu disembunyikan darinya. Balqis bukanlah manusia yang sabar dan sempurna. Kesabarannya ada batasnya. Mungkin dia masih bisa terima jika lelaki itu belum mencintai meskipun kenyataannya dia merasa terluka akan itu. Namun, tidak dengan insiden tabrak lari.

Selain itu, terlahir sebagai anak bungsu membuatnya menjadi anak yang keras kepala dan mau menang sendiri, mungkin juga egois. Makanya sesuatu yang sudah dianggap salah baginya akan tetap salah di matanya. Bagaimana tidak, Balqis tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menikah dengan seorang pembunuh. Balqis tidak pernah membayangkan bahwa seorang gus memiliki masa lalu seperti ini. Mungkin dia yang salah karena berekspetasi tinggi. Kenyataannya hal itu tidak seperti yang dibayangkan. Arghhh, kenapa Balqis sekesal ini.

Sebelum Balqis pergi dia meminta izin pada Gus Afdhal.

"Tolong izinkan aku pulang ke rumahku," katanya kurang lebih seperti itu.

Meskipun Balqis bukan gadis yang paham akan ajaran Islam, tapi setidaknya dia tahu beberapa hal salah satunya ketika menikah dan ingin bepergian keluar rumah harus mendapatkan izin dari sang suami. Sehingga biar bagaimana pun izin seorang suami itu penting. Sudah menjadi suatu keharusan bagi seorang istri jika ingin keluar harus meminta izin pada suaminya.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa hak suami atas istrinya adalah seorang istri tidak diperbolehkan keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suami. Apabila ia melakukannya maka ia dilaknat oleh malaikat rahmat dan malaikat ghodob sampai ia bertaubat,” (HR. Abu Daud).

Meskipun tak setuju Balqis pulang ke rumahnya Gus Afdhal tetap mengizinkannya karena dia juga tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi pada Balqis akibat tidak memberikan izin padanya.

"Kamu, kok, sendiri. Di mana suamimu? Ini juga kenapa bawa koper segala?" Bu Amina melayangkan banyak pertanyaan karena merasa sedikit curiga atas kepulangan Balqis yang membawa tas dan kopernya

"Dia tidak ikut, Ma. Aku pulang karna aku rindu Mama dan Ayah."

"Apa kalian berantem, Nak?"

Apa orang tuanya juga tahu tentang masa lalu Gus Afdhal? Dia ingin bertanya, tapi saat ini dia masih malas menanyakannya.

"Aku pulang karna rindu Mama dan Ayah." Ulangnya lagi.

"Suamimu tahu? Apa suamimu sudah memberimu izin?"

Balqis mengangguk. "Ma, Balqis mau istirahat dulu. Balqis capek."

Bu Amina mengerti. Beliau meninggalkan Balqis di kamar. Perasaan beliau mengatakan bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Balqis tidak akan pulang tiba-tiba begini dan membawa koper.

***

Gus Afdhal menjambak rambutnya frustasi. Benar kata Balqis, setidaknya dia harus jujur apapun yang terjadi. Namun, bodohnya dia tetap saja menyembunyikan perasaannya maupun insiden waktu itu.

Aku harus gimana untuk memperbaikinya? Dia sudah tak mau mendengar penjelasanku lagi.

Ada suara ketukan dari luar pintu kamar mereka. Ia kemudian membukanya.

"Le, tadi Bi Ima lihat Nak Balqis membawa kopernya katanya mau pulang ke rumah. Apakah kalian berdua berantem?"

Gus Afdhal tidak menganggul, tidak juga menggeleng, dia hanya menunduk. Ada sesal di hatinya karena sudah berkali-kali berbohong pada Balqis.

Bi Ima mengusap bahunya. "Kuatkan dirimu, Le. Kamu kepala keluarga, kamu juga harus tegas pada istrimu."

"Tapi aku sudah berbuat salah padanya, Bi."

"Jika salah minta maaf padanya. Bi Ima saranin kamu harus ikut ke rumahnya, jangan biarkan dia sendiri."

"Kalau aku ke sana itu sama saja semakin membuatnya marah. Bi, aku sudah malu sekali menampakan wajahku di depannya. Kayanya dia juga sudah sangat membenciku dan tidak ingin melihatku."

"Apa kamu mau membiarkan masalah kalian begitu saja?"

Gus Afdhal menggeleng.

"Maka dari itu kamu harus perkuat mentalmu. Jika kamu ingin memperbaiki masalah yang terjadi di antara kalian maka pergilah. Di situasi kaya gini kalau dibiarkan takutnya akan semakin runyam masalahnya. Bi Ima yakin kamu sangat mengerti maksud Bi Ima."

Gus Afdhal mengangguk mengerti sambil mempertimbangkan saran Bi Ima. Dia masih begitu bimbang. Namun benar, dia harus pergi. Dia tidak mau membiarkan masalah ini berlarut-larut. Dia akan berusaha untuk menjelaskan semuanya baik insiden itu maupun perasaannya.

Bersambung

Cinta di Penghujung Ramadhan (Revisi)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin