Part 19 : Cara Allah Mencintai Kita

13 2 0
                                    

"Aku terus bermimpi tentang insiden tabrak lari itu, Zak. Mimpi itu terus menghantuiku."

"Tapi tetap saja aku salah. Faktanya anak itu meninggal gara-gara aku. Harusnya aku tidak meninggalkannya."

Balqis teringat kembali percakapan sepintas Gus Afdhal dan Zaki, dia yanya mendengar sebatas itu. Di sisi lain Balqis tidak habis pikir kenapa Gus Afdhal harus meninggalkan anak itu, dan kenapa dia tidak bertanggung jawab. Namun, di sisi lain Balqis juga berpikir bahwa itu bisa saja terjadi karena Gus Afdhal masih usia remaja saat itu.

Tidak tidak, aku tidak perduli. Di usia remaja pun harusnya dia bertanggung jawab bukan lari meninggalkan korban. Usia remaja bukanlah suatu alasan untuk tidak bertanggung jawab.

"Dengar dulu penjelasanku." Lagi-lagi perkataan Gus Afdhal terngiang-ngianh dipikirannya. Bukannya Balqis harus dengar penjelasan Gus Afdhal dulu?

Tidak mau. Suruh siapa dia terus berbohong padaku.

Saat pulang kampus, Balqis dipanggil ayahnya.

"Kamu tidak sedang berantem dengan suamimu, kan?" tanya Pak Imran.

Balqis terdiam cukup lama, antara ingin berbohong dan jujur. Namun, sayangnya dia tidak bisa berbohong di depan ayahnya

"Hanya masalah kecil, Yah."

"Masalah kecil, kok, sampai pulang ke rumah. Kamu bukan anak umur 17 tahun lagi yang ngambek karna masalah kecil terus mendiami suamimu, kamu sudah dewasa, Nak. Sudah harus bisa berpikir bijak."

"Ayah, Balqis sudah berusaha untuk memberikan Gus Afdhal kesempatan untuk jujur, tapi dianya saja yang tidak mau jujur pada aku."

"Memangnya masalahnya apa?"

Balqis mimilin jilbabnya. "Ini berkaitan dengan masa lalu Gus Afdhal, Yah. Gus Afdhal sudah menjadi pelaku tabrak lari."

"Oh, Ayah kira masalah apa lagi."

Balqis mendongakan kepalanya.

"Ayah tahu insiden tabrak lari itu?" katanya sambil mengerut keningnya.

Pak Imran mengangguk. "Lalu kenapa Ayah tidak memberitahu Balqis? Kenapa Ayah mengizinkan Balqis menikah dengannya? Pelaku tabrak lari itu sama saja dengan pembunuh, Yah. Apa Ayah tidak keberatan anak Ayah menikah dengan seorang pembunuh?"

"Apa kamu sudah mendengar penjelasan suamimu?"

Balqis menggeleng.

"Ayah ingin menjelaskan, tapi biarlah suamimu yang menjelaskan padamu tentang insiden itu. Kadang apa yang terlihat belum tentu itu kebenarannya, Nak. Jadi alangkah baiknya kamu pulang ke rumah kalian dan memberikan suamimu kesempatan lagi untuk menjelaskannya."

"Biarlah Balqis di sini dulu, Yah. Balqis masih ingin istirahat di sini, masih mau menenangkan pikiran Balqis."

Pak Imran mengangguk. "Baiklah. Ayah tidak mengizinkan kamu untuk berlama-lama di sini."

Balqis mengangguk lesu.

***

Keesokan harinya setelah Gus Afdhal menimbang ucapan Bi Ima, dia memberanikan diri untuk menyusul Balqis ke rumahnya.

Ia memberi salam saat tiba di rumah Balqis dan kebetulan ada kedua orang Balqis. Mereka pun menjawab salamnya.

"Wa'alaikumssalam, Gus Afdhal."

"Wa'alaikumssalam. Masuk, Nak."

Kata Bu Amina dan Pak Imran bersamaan.

Gus Afdhal menyalin tangan kedua mertuanya.

Cinta di Penghujung Ramadhan (Revisi)Where stories live. Discover now