Prolog

538 61 2
                                    

"Menikahlah dengannya."

Saat ultimatun itu tercetus dari Madara, Sasuke hanya bisa mengangguk patuh. Wajahnya bersih dari rasa murka. Tak ada tanda-tanda kemarahan di setiap gurat kulitnya.

"Siapa? Si sulung atau si bungsu?" tanyanya dengan lancar. Seolah keluar tanpa beban.

Madara menghisap cerutunya sebentar sebelum menatapnya kembali. "Si sulung. Dia lebih berguna."

Kekehan kecut hampir lepas dari bibirnya. Lirikan sinis tak lagi bisa Sasuke sembunyikan.

"Baik. Aku akan menikahinya."

Madara terkekeh, "Kau tak perlu terburu-buru. Tunggu sampai kalian menyelesaikan kuliah."

Sasuke memutar gelasnya. Melihat permukaan merah dari minuman yang ia sesap. "Aku akan membuatmu puas, Kakek."

Pria tua itu menengadahkan kepalanya pongah. "Kau wajib melaksanakan kewajibanmu. Tentu setiap Uchiha harus melakukannya dengan hasil yang memuaskan."

Kakinya gatal untuk meninggalkan aula. Madara Uchiha adalah sosok yang paling meneror keberlangsungan hidupnya. Rasa tak nyaman kerap mendatanginya ketika kehadiran pria tua itu melewati radar zona nyamannya.

Alasan utama tentu saja tentang adat luhur yang sejak dahulu tak boleh lepas dari setiap keturunan Uchiha. Yang tertua kini adalah Madara. Dan sebagaimana mesti kepala klan hidup dan dihormati, tak ada yang boleh menentang setiap ucapan yang diultimatumkan pria itu.

"Kau mau ke mana?"

Pertanyaan itu mampu menghentikan langkahnya. Hela nafas lelah meluncur dari bibir Sasuke.

"Tak ada yang kau butuhkan lagi kan? Aku sudah menyutujuinya."

Madara merengut tak suka. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Sasuke. Baru berhenti saat jarak di antara mereka terpaut satu langkah kaki orang dewasa.

Tepukan di bahunya membuat Sasuke menoleh. Menatap sang kepala klan dengan sorot datar.

"Temui calon istrimu. Hari ini Hyuuga datang."

Sasuke seketika membalikkan tubuhnya. Bibirnya tak kuasa menahan seringai.

Jika dulu ia sama sekali tak berani menatap Madara dengan kepala terangkat, kini ia tak ada alasan lagi untuk takut terintimidasi karena perbedaan tinggi yang mereka miliki. Hidup selama dua puluh tahun cukup menjadikan Sasuke sebagai pria jangkung dengan badan yang lebih berisi, serta otot yang berhasil menjalari di setiap jengkal tubuhnya.

Tak ada alasan untuk takut kepada si tua bangka ini.

Yang membuat Sasuke menolak untuk memberontak adalah, keegoisan Madara dalam memainkan perannya. Sekali jika ia menolak ucapan lelaki itu, maka kedua orang tuanya yang terkena imbasnya.

"Kakek bercanda? Kau menyuruhku menjamunya di saat jam sudah masuk tepat 12 malam?"

"Aku mengikuti perintahmu. Tapi seperti ucapanmu, aku tak ingin terburu-buru."

Desisan tajam menyertai setiap ucapannya. Sekali-kali, Madara butuh orang lain yang berani menunjukkan otoritas lebih tinggi agar pria tua itu sadar seberapa pecundangnya dia.

Madara menghela nafas dalam, kemudian menatapnya dengan tajam. Sedetik kemudian seringai kecil hadir di bibirnya yang masih mengapit cerutu.

"Pertunangan kalian akan diadakan satu bulan lagi. Tak ada salahnya kan, untuk saling mengenal."

Kini amarah yang ia tahan seolah-olah naik siap untuk meledak. Angkara murka yang tertimbun begitu lamanya terasa seperti menggelegak kembali, siap meluncur tanpa tedeng aling-aling.

Tapi bukan Sasuke namanya jika ia tak bisa memainkan ekspresi. Tak ingin melempar tinju, lelaki itu memilih terkekeh dengan mimik wajah penuh sarkastik.

"Aku akan mengenalnya. Sampai aku tahu di mana titik lemahnya, agar aku bisa menghancurnya."

Ia menatap dengan santai. Mendekat secara perlahan dan berbisik dengan perasaan jengkel yang mulai mengalir.

"Seperti hasratku untuk menghancurkanmu, Kek."

Wrong Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang