Bab 14

341 62 9
                                    

Jemarinya tak sabaran mengetuk lantai marmer. Menunggu orang di seberang untuk mengangkat teleponnya.

Yah, jika Naruto bisa berbuat curang, kenapa tidak dengan dirinya?

Dua orang bisa berbuat curang, hanya untuk mendapatkan perhatian gadis yang mereka cintai. Tak luput Sasuke termasuk ke dalam golongan orang itu.

Ia mengusak rambutnya sebentar sesaat setelah panggilan ke-tiganya diangkat.

"Halo?"

"Sakura..."

Sasuke membuat suaranya separau mungkin. Berharap reaksi Sakura sesuai apa yang ia pikirkan.

"Sasuke-kun? Ada apa denganmu?? Apa kau sakit??"

Sasuke mengurut alisnya, matanya terpejam. "Hn ... Ya. Badanku sejak kemarin tidak enak. Apa kau tahu aku harus minum obat apa?"

Bukannya ia tidak tahu bahwa Sakura memahami kepayahannya dalam memilih obat. Justru karena itulah kesempatan sekecil ini harus ia digunakan.

"Apa yang kau rasakan?"

"Aku tidak tahu ... Badanku terasa sangat lemas. Dan ... dan jantungku berdetak sangat cepat."

"Apa?? Apa suhu badanmu tinggi??"

"Aku tidak tahu ... Aku sangat lemas sampai aku tidak bisa merasakan suhu badanku sendiri."

"Astaga ... Aku akan mengirimkan obatnya untukmu. Obat yang kau butuhkan sepertinya tak ada di kotak P3K-mu."

Sasuke menggaruk lehernya pelan. Wajahnya tak terbaca yang kali ini tidak ia buat-buat.

"Sakura ... Bisakah kau datang ke sini? Ke apartemenku?" tanyanya lirih.

"Tapi...--"

"Ughuk! Ughuk! Kau benar-benar tak bisa?"

"Hah~ Baiklah. Tapi kau harus menunggu dulu. Aku sedang berada di luar sekarang."

Ia kerutkan alisnya dalam. "Hn. Tapi kau berangkat sekarang kan?"

"Tapi Sasuke-"

"Aku membutuhkanmu," lirihnya sendu, yang ia buat sedemikian rupa.

"Oke. Aku akan memesan taksi dulu. Kau tunggu dulu saja. Kalau bisa hangatkan dirimu dengan sesuatu."

Sasuke menatap pantulan dirinya di cermin. Seringai lebar seketika terpatri di bibirnya saat gadis itu berkata demikian.

"Ya. Aku menunggumu."

Sambungan telepon terputus dari Sakura. Sasuke tak bisa meninggalkan toilet tanpa senyum kemenangan di bibirnya.

Ia tolehkan kepala ketika ia keluar dari toilet. Melihat kemungkinan bahwa tak mungkin ia keluar dari pintu utama karena jelas pasti akan berpapasan dengan Madara.

Akhirnya ia langkahkan kakinya ke dapur. Membuka pintu besi yang ada di sana dan mengabaikan tulisan 'hanya untuk karyawan'. 

Ketika pintu itu terbuka, seluruh orang di sana dilanda kesibukan. Seorang pelayan yang tadi melayani mejanya terlihat kaget dengan kedatangannya.

"Mohon maaf, Tuan. Apakah ada yang bisa saya--"

"Tunjukkan aku pintu keluar," potongnya.

Pelayan tersebut terlihat kaget, kemudina menundukkan kepalanya lagi.

"Kami mohon maaf, Tuan. Pintu yang dapat diakses--"

"Katakan saja," desisnya tajam.

Pelayan itu kembali bergetar. Terdiam sejenak sebelum mengangguk dengan kaku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 05, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Wrong Between UsWhere stories live. Discover now