11. Musuh bebuyutan

18 6 3
                                    

Kejadian kemarin membuat satu sekolah gempar, seorang Reano Abazar menggendong adik kelasnya ke UKS. Berita tersebut sudah terdengar banyak siswa maupun siswi, guru-guru pun sepertinya mendengar. Tak terkecuali Naya.

Naya mengepalkan tangannya, mata itu terlihat memiliki dendam pada Hafasha, sebelum Hafasha datang ke sekolah ini sebagai adik kelasnya, dialah yang dekat dengan Rean, orang tuanya pun saling kenal satu sama lain. Tapi, setelah Hafasha hadir, pusat perhatian Reano beralih ke adik kelas sialanya itu.

Dia bersumpah, akan mengambil apa yang memang seharusnya menjadi milik dia. Rean hanya milik Naya. Keana, Sella, dan Violet hanya terdiam sedari tadi, ketika Naya emosi mereka, berusaha untuk tidak mengganggu, karena bisa saja mereka yang jadi sasaran amukan Naya.

"Awasin terus, pergerakan Hafasha DeAndra." Perintahnya.

•••

"Siapa?"

"Naya."

Rean mengangguk, selepas itu Rean melangkah keluar dari ruangan OSIS, kakinya melangkah ke kelas 11. Rean mengedarkan pandangannya, mencari seseorang.

Dapat. Di sana seorang gadis tengah menelungkupkan kepala di meja, setelah kejadian kemarin Hafasha demam, tapi kini anak itu malah memaksakan diri untuk berangkat sekolah. Terlalu lama berdiam di depan pintu, Rean tidak sadar bahwa di belakangnya ada guru yang akan mengajar di kelas 11.

"Rean? Sedang apa kamu di sini?" tanyanya.

Rean terkejut, dia menolah dan menatap ibu guru di sana. Rean menggaruk tengkuknya, "Rean, tadi mau manggil Hafasha Bu, tapi sepertinya anaknya sedang sibuk. Jadi, tidak jadi."

"Oh, ada perlu apa?"

"Ga, ada apa-apa. Eum kalau begitu saya permisi ke kelas ya Bu." Rean pamit.

"Re! Buset dari mana?" Itu suara Andi, di susul Angga di belakang.

"Kelas 11. Kalian ngapain di luar?"

"Tadi, di panggil pak Ilham, biasalah OSIS."

Yang banyak bicara hanya Andi, entah kenapa lagi Angga kali ini. Mukanya benar-benar tidak ada ekspresi.

"Pulang sekolah ke markas Re," ujar Angga.

"Ngapain?"

"Ada yang mau gua bahas, sama yang lain juga pada kumpul."

"Jam berapa? Gua ga bisa kalau pulang sekolah. Ada urusan."

"Urusan apaan njir? Tumbenan amat." Andi menyela. Tidak biasanya Rean menolak ajakan Angga.

"Kepo lu, udah cepet masuk kelas sana!" usirnya.

Andi dan Angga mengedikan bahu, lalu melangkah menuju kelas. Rean? Biarkan saja dia.

Rean, lihat Hafasha keluar kelas, dia ingin mengobrol sebentar pada gadis itu. Rean pun mengikuti Hafasha yang berjalan menuju toilet. Rean menunggu di depan sembari bersandar pada pintu.

Setelah 2 menit, Hafasha keluar dan terkejut melihat Reano di depannya.

"Kak Rean?" gumamnya.

"Lu bukanya lagi demam? Ngapain masuk sekolah?" Sebenernya Rean tidak tahu kenapa dia bisa bertanya seperti ini, padahal Hafasha bukan siapa-siapa baginya, hanya adik kelas saja tidak lebih. Tapi, otak, hati dan tubuhnya berkata lain.

"A-Asha baik-baik aja kok, lagian udah minum obat juga." Dia menunduk malu, menyembunyikan semburat merah di pipinya. Hafasha salah tingkah, ketika Rean bertanya seperti peduli padanya.

Deg..

Hafasha melebarkan mata ketika merasakan telapak tangan Rean menyentuh keningnya. Dia sampai lupa caranya bernafas.

"Anget. Besok kalau masih kaya begini ga usah sekolah. Ga usah ngelawan." Rean berbalik untuk menuju kelas, tapi sebelum itu Rean berujar.

"Pulang sekolah, bareng gua. Tungguin di parkiran."

Kalian penasaran keadaan Hafasha saat ini? Dia masih mematung dengan pikirannya yang sudah berkelana jauh. Hafasha tersadar lalu menoleh ke kanan dan kiri, entah kenapa tiba-tiba ia merasa merinding di pintu toilet perempuan. Segeralah dia lari menuju kelas.

Tanpa di sadari, Rean sejak tadi masih berdiri di balik tembok dan tersenyum samar melihat kelakuan Hafasha. Ah, Rean jadi tidak sabar untuk pulang bareng.

Bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas, Aini merangkul Hafasha dan berdiri di gerbang sembari menunggu Zahra. Hafasha sedari tadi terlihat gelisah, entah ada apa dengan gadis itu saat ini.

"Lu kenapa?" tanya Aini.

"Eum, kalian pulang duluan aja ya, aku ada urusan sebentar." Hafasha gugup.

Tidak lama, Zahra datang dan merangkul Aini serta Hafasha, mengangkat satu alisnya ketika muka Aini terlihat sebal.

"Kenapa?"

"Hafasha ada keperluan, kita di suruh pulang berdua."

Zahra menoleh, "tumben, mau ngapain?"

"Eum, aku ga bisa jawab sekarang, nanti sehabis pulang aku langsung cerita ke kalian. Janji!"

"Ya, udah terserah. Hati-hati ya!" Zahra menarik Aini.

Hafasha menghela nafas, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekolah, mencari keberadaan Rean. Dapat. Rean melambaikan tangan, meminta Hafasha untuk masuk ke mobil.

Di dalam mobil suasananya cukup hening, Rean yang fokus mengemudi, dan Hafasha tengah menenangkan diri. Rean tidak bicara apapun, Hafasha mengernyit heran ini, bukan jalan menuju rumahnya.

Hafasha menoleh ke samping , di mana Rean acuh tak acuh sama kegelisahan yang Hafasha rasakan.

"Kak Rean, kita mau kemana? Rumah Asha ga lewat sini," ujarnya.

Rean tersenyum tanpa menjawab pertanyaan gadis di sampingnya. Lima menit kemudian, mobil yang die kendarai oleh Rean berhenti di parkiran cafe.

Hafasha bingung, untuk apa Rean membawanya ke sini. Cafe Panther itu nama cafenya, di sana juga ada gambar kepala harimau? Entah, Asha kurang tahu hewan apa itu. Rean keluar dari mobil dan membukakan pintu penumpang.

Rean meminta Hafasha untuk turun dan memintanya untuk mengikuti. Hafasha mengedarkan pandangan, di sini banyak sekali anak SMK yang masih memakai seragam putih abu. Ini, memang sudah jam pulang, pasti banyak anak-anak yang ingin nongkrong sembari mengajak pasangan mereka.

Rean, menarik kursi meminta Asha untuk duduk, Rean pun duduk dan memanggil barista di sana. Setelah memesan minuman dan makanan, Rean menatap Asha dengan intens.

Rean, bingung harus memulai percakapan dari mana, dia tidak begitu pandai dalam berkomunikasi pada lawan jenis, Asha adalah perempuan pertama yang dia ajak ke Cafe miliki Angga.

"Ekhem." Rean berdeham, Asha melihat Rean.

"Kak, kita ngapain ke sini?"

"Makan."

Tidak lama, pesanan datang dan mereka mulai menikmatinya. Rean ingin mengutarakan sesuatu, tapi ia ragu.

"Kak Rean, mau ngomong apa? Bicara aja." Sepertinya Asha peka akan gelagat Rean yang sedari tadi ingin bicara, tapi tidak jadi.

Rean meraih tas sekolah lalu membukanya, ia mengeluarkan semua isi yang ada di tas tersebut. Coklat. Asha terkejut atas apa yang ia lihat, Coklat ini, yang beberapa bulan belakangan sering dia letakkan di loker Rean, tanpa Rean ketahui. Tapi, kini coklat itu ada di depannya.

"Lu, yang kasih semua coklat ini ke gua." Ini bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Yang pasti Asha hanya bisa menjawab iya.

Asha menunduk dan meremas roknya, dia gugup. Ternyata Rean tahu bahwa itu dari dia, padahal. Yang memberikan coklat serta surat bukan hanya Asha, tapi seangkatan dan kakak kelasnya juga.

Asha harus jawab apa, kalau Rean sendiri sebenernya sudah tau. "Lain kali, jangan lancang buka loker orang seenaknya."

"Mati."

TBC...

REANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang