13. Tentang Reano

16 4 3
                                    

"Rean pulang!" Kakinya memasuki rumah besar itu, sembari menenteng helm di tangannya. Sunyi. Tidak ada siapapun di rumah, dia sudah terbiasa dengan keadaan keluarga nya saat ini. Dia sudah capek mengeluh, toh kalau dia bicara jujur bahwa dia kesepian orang tuanya tidak akan pernah perduli.

Yang ada di pikiran kedua orang tuanya, hanyalah uang, uang, dan uang. Sedikit cerita tentang Reano Abazar. Dia, anak tunggal dari keluarga Abazar, Papah nya bernama Alexandre Abazar dan ibunya Rosita Leandra. Sedari kecil Rean selalu di tinggal pergi oleh orang tuanya, dulu Rean tidak masalah karena yang dia tahu bahwa orang tuanya bekerja untuk masa depan Reano. Tapi, saat itu, dia sangat butuh peran kedua orang tuanya. Dia tidak butuh uang, dia hanya ingin kasih sayang.

Sejak sekolah dasar dulu, yang mengambil rapot atau ketika ada perintah dari guru untuk membawa orang tua, Rean hanya membawa pengasuhnya. Rean ingat, dulu dia pernah menelpon ibunya yang ada di luar negeri, meminta untuk pulang karena besok ada acara hari Ibu. Rean sudah menyiapkan hadiah untuk ibu tercintanya saat itu.

"Mah, kapan pulang? Besok Rean di suruh Ibu guru bawa Mamah ke sekolah." Sembari memeluk hadiah yang dia buat untuk ibunya, Rean menanti jawaban Rosita.

"Rean, maaf ya sayang. Mamah ga bisa pulang. Kamu pergi sama Bibi aja ya, kalau pekerjaan mamah sudah selesai, mamah langsung pulang kok."

Bukan itu jawaban yang Rean kecil inginkan, hadiah yang dia peluk erat kini mengendur. Lagi, Rosita menjawab dengan kalimat yang sering dia utarakan untuk menolak ajakan Rean kecil.

"Mah, besok hari ibu, Rean harus bawa mamah bukan Bibi, orang tua Rean itu Mamah bukan Bibi!" Tanpa sadar Rean meninggikan suaranya dengan sedikit gemetar. Hadiah yang dia pegang erat kini jatuh ke lantai.

"Rean, sayang. Hai, dengerin mamah ya. Rean tahukan mamah sayang sama Rean? Mamah janji kalau pekerjaannya sudah selesai, mamah pulang, nanti kita bisa main bareng. Untuk sekarang sama Bibi dulu ya anak ganteng?" Rosita terus membujuk Rean kecil agar mengerti. Rosita juga amat sangat merindukan Reano, anaknya. Tapi, pekerjaan sialan ini tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.

Rean menitikkan air mata, lalu mematikan ponselnya. Menangis lagi, Rean kecil menangis untuk kesekian kalinya. Rean naik ke atas kasur lalu mulai memejamkan mata yang masih terus meneteskan air mata. Besok adalah hari ibu, dan dia berharap Rosita datang agar Rean tidak di bully teman sekelasnya karena setiap mengambil rapot, yang datang adalah pengasuh bukan ibu kandungnya.

Papah nya pun terlihat tidak perduli dengan kondisi Reano, dia hanya mengirimkan banyak uang untuk keperluan Reano, sudah 2 bulan orang tuanya tidak pernah pulang dan 2 bulan juga Reano tidak bertemu dengan orangtuanya. Rean, merindukan mereka.

"Den Rean, baru pulang?" Itu suara wanita yang sudah merawatnya sejak kecil, dia mengantar minuman untuk Rean yang tengah duduk dan memejamkan mata di sofa.

"Iya Bi," jawabnya lalu meminum, air yang sudah di siapkan.

"Bagaimana hari ini? Sekolah nya lancar?" Dari pada ibu kandungnya, Bi Inah terlihat lebih cocok memerani sebagai sosok ibu yang perhatian. Rean sudah menganggap Bi Inah seperti ibu keduanya, dan Bi Inah pun, sudah menganggap Reano seperti anaknya sejak dia kecil.

Masih begitu membekas di ingatannya, Rean kecil yang malang, selalu menangis di kamar sendiri, merenung, dan tidak jarang Rean kecil pulang sekolah dengan keadaan seragam nya kotor penuh dengan lumpur dan bau air kotoran. Alasannya cuma satu, Rean di bully karena terlihat tidak memiliki kedua orang tua. Pernah, beberapa kali Bi Inah mencoba memberi tahu majikannya, tentang kondisi anak mereka. Tapi, jawabanya selalu sama. "Saya gaji kamu untuk mengurus Rean, masa ngurus anak kecil aja ga becus. Saya ga mau dengar apapun, kasih Rean pengertian tentang kedua orang tuanya."

REANOWhere stories live. Discover now