9. Malam Gerhana

8 2 0
                                    


Chapter IX : Malam Gerhana

AIRE tertawa konyol, mengalihkan pandangan dari kakek. "Tentu saja aku tahu. Kakek yang memberitahu aku. Kakek menceritakan segalanya tentang iblis itu, 'kan?"

Pria tua itu tampak berpikir sebentar, kemudian mengangguk tanpa sebuah kecurigaan. "Benar juga. Kakek pelupa, mungkin faktor usia."

Kedua pundak Aire dipegang kakek dengan lembut, pria sepuh itu menatap dengan penuh harap. "Besok malam adalah malam gerhana. Kekuatan iblis itu meningkat. Sebelum dia memiliki pengikut lebih banyak, kita harus menemukan keris bintang."

Aire mengangguk pelan. Ia menoleh kala kedua orang tuanya datang dengan wajah masam, lalu menariknya menjauh dari kakek yang juga berjalan pergi.

"Sudah papa katakan, jangan berdekatan dengan kakek dekil itu, 'kan?" ujar Tuan Hong.

Aire menunduk. "Iya, maafkan Aire."

Tak ada yang perlu diperpanjang. Sekarang kedua orang tuanya lebih perhatian dan menyayangi Aire. Ia tak perlu mengecewakan mereka dan tetap menurut. Sementara, Aire hanya perlu menyiapkan rencana agar Shall tidak tahu jika ia berniat membantu kakek.

***

"Kakek tua kurang ajar! Kau berniat mengembalikan aku ke neraka?!" bentak Shall pada kakek yang berdiri dengan dua dupa di belahan tangannya yang saling bertangkup.

Malam seolah menjadi lebih sunyi. Sekujur tubuh kakek merinding, sesekali ia menoleh ke jendela dengan kaku. Bulan mulai tertelan bayangan hitam. Pria iblis itu tersenyum miring. Shall tidak ingat mengenai siapa yang telah mengurungnya dalam guci sialan itu, tetapi ia sangat yakin bahwa Kakek renta ini tak akan bisa mengulangi takdir itu.

"Meski aku tidak bisa melakukannya, kau akan tetap kukirim ke neraka. Takdir saling berhubungan, pasti ada alasan mengapa aku bebas untuk saat ini!"

Iblis itu tetawa lepas, merasa menang. Melihat kakek yang sedikit melangkah mundur, pria itu membacakan mantra-mantra yang membuat Shall sedikit merasa gerah. Perlahan cahaya bulan mulai memudar. Gerhana menutupi setengah lingkaran raksasa itu. Shall bersiul, buat angin berhembus dari luar jendela. Tubuh kakek menggigil, pria tua itu hanya berharap Aire cepat datang dan menemukan keris bintang itu untuk mengirim iblis laknat itu ke neraka. Dupa padam. Kakek membuka mata dengan panik. Gelap. Tak ada satupun cahaya tersisa.

"Kau takut kegelapan rupanya," ujar iblis itu sembari berjalan pelan mengitari kakek yang berusaha mencari keberadaan sosok itu.

"Ke mana dirimu yang dengan sombongnya ingin mengurungku kembali ke dalam guci? Sadar dirilah, kau hanya bisa melakukan itu. Karena kamu tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mengirimkan ke neraka!"

Debum pintu yang terbuka dengan kasar buat kakek spontan mengalihkan pandangan. Dunia benar-benar diselimuti kegelapan, tetapi sosok perempuan mungil itu datang dengan sebuah lentera di tangannya. Sekejap mata, sosok pria iblis itu raib tergantikan kabut hitam yang memudar. Aire berlari mendekati kakeknya yang jatuh berlutut, sembari tetap merapalkan mantra.

"Kakek tidak apa-apa?" tanya Aire dengan cemas. "Aku harus menunggu kedua orang tuaku tidur, baru bisa datang kemari."

Kakek menatap Aire dengan penuh kecurigaan. "Sejak kapan mereka mempedulikan kamu, Aire?" Pria sepuh itu memegang pundak gadis yang telah ia anggap sebagai cucu.

"Mereka masih sama seperti dulu. Namun karena keadaanku sekarang, mereka membatasiku untuk pergi. Apalagi kakek tahu, mereka tidak menyukai kakek." Aire berbohong.

Pria sepuh itu terdiam. Ia kemudian beranjak, lalu menarik lembut tangan Aire untuk mendekat pada sebuah meja laci di ruang tengah.

"Bantu kakek menemukan keris bintang itu."

Don't Let Me Love You (End)Where stories live. Discover now