18. Sebuah Permen Kelemahan

3 1 0
                                    


Aire mengangguk lemah, kala kakek meninggalkan dirinya sendirian. Terkadang ia merasa sangat merindukan sosok kakek yang melindungi dan selalu ada untuknya. Tak sekalipun sosok rimpuh itu meninggalkannya meski keadaan genting.

"Tak kusangka, Kakek meninggalkanku demi keselamatannya sendiri."

Aire memeluk erat guci nenek, bergumam dalam kesendirian. Ketikan dipintu semakin keras, lebih terdengar seperti gedoran kasar dari luar. Tak ada keberanian untuk membuka, biarkan diri terkurung dalam ketakutan dan kesendirian.

Suara debum pintu yang berhasil dirobohkan cukup nyaring. Aire menutup telinga dengan kedua tangan, memejam erat. Sosok bertubuh besar dengan pakaian mirip viking itu menatap tajam.

Tubuh mungil Aire bergetar melihat pakaian bulu dan kalung tulang yang tergantung di lehernya seolah memperlihatkan betapa kuat sosok itu. Kulitnya yang kecoklatan dengan banyak bekas luka sayatan, rambut hitam legam ikal dan kuku runcing menambah kesan ganas mahkluk itu.

"Sudah kuduga. Kau pasti memiliki Shall bersamamu. Sebenarnya ada hubungan apa diantara kalian?" tanya sosok itu sembari membelai dagu  Aire, lalu mengusap guci dalam pelukannya.

Hati berkecamuk antara rasa takut dan keheranan. Tak seperti kakek yang amat mencintai nenek, bagaimana pria itu meminta Aire menyerahkan abu kremasi istrinya dan berpura-pura bahwa guci itulah yang telah menyegel Shall.

Aire menggeleng pelan. "A— aku hanya memiliki guci ini sejak lahir. Aku mewarisi ini dari kakek. Aku tidak tau jika ada mahkluk lain dalam guci ini."

Gom tertawa nyaring, lalu mengambil guci dari pelukan Aire dengan tatapan sinis yang tertuju pada pergelangan tangan gadis itu lalu bergantian pada jemarinya yang sedikit terbakar.

Sosok itu berdecak sebal, terlambat menyadari bahwa Aire memakai gelang jimat. Menggeram kesal, sementara Aire berlari keluar dari pintu belakang, kalang kabut menyelamatkan diri dari mahkluk mengerikan itu.

"Kenapa tidak ada satupun yang menolongku di saat-saat seperti ini?!" kesal Aire.

Diantara langkah kaki dan nafas yang menderu, Aire kembali menelisik ingatan. Semangat kakek untuk membasmi iblis hampir tak pernah pupus meski tubuhnya yang semakin tua dan lemah. Namun, terlahir kali pria sepuh itu melawan Shall adalah di hari gerhana—malam yang direncanakan untuk mengalahkan Shall dan mengembalikan sosok laknat itu ke alam baka.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada kakek, kenapa sekarang tak pernah perduli bahkan jika aku berurusan dengan Shall?"

Langkah kaki Aire menelan begitu sampai di halaman rumahnya. Gadis itu setengah berjongkok, bertumpu pada lutut. Setelah nafas kembali normal, ia melangkah ke dalam rumah.

Sepi. Tak ada siapapun. Aire berlari menuju kamarnya, membuka tirai yang masih menutup jendela kaca samping balkon. Ia menatap keluar. Perumahan elit itu memang sudah sepi sejak awal, tetapi semenjak kehadiran Gom semua seolah kehilangan penghuninya.

"Apa semua terperangkap pada perjanjian iblis itu?"

Aire mendudukkan diri di dudukan tepi jendela kaca, lalu memejam dan bersiul. Tak ada angin yang berhembus, tak ada tanda-tanda kedatangan Shall. Aire menghembuskan nafas panjang. Ia memanggil Shall beberapa kali, tetapi pria iblis itu masih tak muncul juga.

"Astaga, apa dia benar-benar takut pada Gom dan berniat meninggalkan aku sendirian? Yang benar saja, bahkan kedua orang tuaku dalam pengaruh sihir. Tak ada serunya hidup seperti ini," keluh Aire.

Awalnya, Aire berfikir meski yang didapatkannya adalah kasih sayang palsu, setidaknya bisa merasakan kasih sayang dan diperlakukan selayaknya seorang anak sudah sangat melegakan. Namun, kenyataan hidup dalam dunia sihir dan perjanjian setan sama dengan meneguk racun perlahan.

Don't Let Me Love You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang