11. Demam Gula

6 1 0
                                    

SHALL pernah berada di titik terendah dirinya sebagai iblis. Kala gadis menyerupai Aire itu mengikatkan benang takdir itu. Tak dapat ingatan menyentuh detail kejadian, tetapi Shall dapat merasakan bahwa darahnya seolah berdesir dengan rasa hangat yang asing dalam hatinya kala benang itu bertaut di pergelangan tangannya.

“Demam gula, sebuah penyakit di mana kamu terobsesi pada permen. Memuja kelezatan dan rasa legitnya,” jelas Shall.

Sedikit banyak, Aire paham mengapa Shall enggan lagi berhubungan dengannya pun mencari cara untuk memotong takdir mereka—agar tak terulang kesalahan yang sama. Terlintas ide dalam benak gadis itu. Kakek pernah mengatakan bahwa takdir yang tersambung benang merah akan terputus kala seseorang merenggut nyawa mereka sendiri. Tak mungkin Aire melakukan itu demi Shall, biarkan dirinya mati sementara iblis itu menguasai desa kecil mereka.

Sang dewi malam menguasai kegelapan, sementara angin dingin berhembus kencang melewati jendela. Shall menatap tajam, coba membaca apa yang ada dalam pikiran Aire, meski pada akhirnya hanya kekosongan yang didapatinya.

Aire menggeleng cepat.

Aku tidak mungkin bunuh diri, batin gadis itu, lalu menggeleng kasar dan bergegas menepis pemikiran anehnya.

“Manusia payah seperti kamu tidak perlu berpikir keras, biar aku yang memikirkannya. Mungkin membuat perjanjian dengan Hades juga tidak masalah.”

Aire melongo heran. Shall baru saja menyebut nama sakral sang penjaga neraka 'Hades.' Tokoh yang terkenal dengan kekejamannya. Tidak. Pria iblis itu licik, tak mungkin ia mengorbankan dirinya, tetapi Aire ‘lah yang berada dalam bahaya. Tirai putih terhempas, dalam sekejap mata pria iblis itu lenyap tergantikan kabut hitam yang kemudian memudar. Sunyi, kamar mendadak hening, hanya cahaya rembulan yang menerobos masuk dari jendela kamar.

Aire berdecik sebal. “Yang benar saja, iblis itu keluar masuk dunia melalui jendela kamarku.”

Terdiam sejenak, Aire menatap keluar jendela dengan ribuan pertanyaan dalam pikiran. Tatapannya tertuju pada bintang-bintang yang seolah tertidur nyenyak di atas cakralawala, bergeming rasakan hembus serayu di tengah malam. Pada hari ulang tahunnya, Shall membawanya ke dunia yang tak pernah ia tahu—sebuah tempat yang bergerak sesuai hati dan kemauan iblis itu.

Apakah tempat itu yang disebut Eden oleh Shall? Apa semua orang yang terlibat dengan perjanjiannya berada di tempat itu untuk menjadi pengikut dan budak iblis itu? monolog Aire dalam diamnya.

Dengan terburu ia menutup jendela dan tirai, lalu berlari dan menjatuhkan dirinya di atas kasur dengan kencang, biarkan kepala tenggelam diantara bantal, masih memikirkan sosok iblis laknat itu.

“Tidak bisa begini, aku harus menemukan pedang iblis milik kakek dan mengirim iblis itu ke neraka dengan tanganku sendiri. Semua akan kacau jika dia terus berada di dekatku,” gumam Aire sembari memegang dada, rasakan detak jantung yang berdegup kencang. Kacau.

***

Pergantian fase bulan berganti cepat, tentu Aire harus menemukan alternatif mudah menemukan bahan-bahan permen untuk purnama selanjutnya. Gadis itu sibuk mengotak-atik ponsel dengan seulas senyum terpatri di wajah.

“Tidak ada yang perlu kutakutkan, karena sekarang tidak ada saingan untuk penyerahan permen selanjutnya.”

Sekali lagi gadis itu mengecek semua bahan yang telah ia pesan melalui ponsel. Dengan semagat ia menurunkan barang-barang mahal yang telah lama bersemayam di laci dapur, bahkan sedikit berdebu lantaran jarang tersentuh.

“Aire!” teriakan Nyonya Hong buat gadis itu terlonjak kaget, lalu berbalik pelan.

“Ma—mama Aire pinjam beberapa alat untuk membu—” ucapan terbata dengan suara bergetar itu terpotong teriakan yang lebih nyaring.

Don't Let Me Love You (End)Where stories live. Discover now