14. Titik Tertinggi Kebahagiaan

4 1 0
                                    

Aire memutuskan untuk mengalahkan iblis Gom itu demi penduduk Gimpo, desa kecil yang seharusnya damai tanpa sosok mengerikan itu.

Setiap keinginan yang dikabulkan, pasti terdapat rencana licik di dalamnya. Satu per satu, mereka tunduk pada perintah iblis, lalu menjadi budaknya untuk selama-lamanya.

"Jadi, kita harus ke perpustakaan untuk menemukan galeri berdarah?" tanya Aire pada Shall yang mengangguk tanpa merubah ekspresi datarnya.

Kali ini, bukannya Shall yang menyeret Aire, tetapi gadis itu berjalan lebih cepat di depannya, dengan benang merah yang menghubungkan tangan kanan mereka.

"Jadi kamu menguasai dunia timur, Shall?" Aire menghentikan langkah, jika manusia, mungkin Shall sudah menabrak tubuh mungil itu. Ia iblis, bisa menebak pergerakan Aire dengan mudah.

"Kau tidak percaya?"

"Tapi perempuan bernama Eria itu menguasai dirimu, kan? Artinya dia penguasa sebenarnya."

Shall berdecak sebal. Apa yang dikatakan Aire memang benar, tetapi sulit untuk diakui. Untuk beberapa saat hingga terkurung dalam guci menyebalkan itu, Shall memang berada di bawah kendali Eria.

Wajah menyerupai Aire, dengan manik bulat bergemerlap, wajah tirus, bibir tipis, dan sifat ceria yang sama. Shall masih mengingat dengan jelas, bagaimana gadis itu mengalahkan Gom dengan pedangnya, dengan tatapan bematikan miliknya yang juga dipinjam.

Jangankan dirinya, dunia pun Shall akan berikan pada gadis itu. Gunung ia akan angkat, samudera ia lewati. Setelah mengalahkan monster mengerikan itu, Shall justru dimasukan ke dalam guci dan tersegel bertahun-tahun. Sialnya, ia lupa bagaimana Eria mengalahkan Gom di masa itu.

"Hei, kenapa memandangku seperti itu?" tanya Aire yang tertawa canggung, lalu kembali memimpin jalan di depan Shall.

Tak seperti iblis yang seharusnya memerintah manusia dengan ikatan takdir perjanjian, tetapi Shall lebih terlihat seperti pelindung bagi Aire. Tak satu pun anak dan penduduk desa berani merundungnya sejak ia membuat perjanjian dengan Shall, bahkan lebih dari perjanjian awal yang hanya mencakup kedua orang tua.

"Tidak ada." Shall mengalihkan pandangan. "Sebenarnya, ada alasan mengapa iblis itu datang ke desa ini."

Langkah Aire kembali terhenti. Senyatanya sejak tadi mereka tak kunjung pergi dari tepi pantai yang sepenuhnya gelap. Senja berakhir dengan cepat, tetapi tidak dengan Aire yang masih betah rasakan angin dingin yang berembus dari lautan luas.

"Gom berpikir bahwa aku masih berada dalam guci itu. Sementara energimu juga muncul setelah benang merah takdir kita semakin nyata dan jelas. Dia merasakannya, karena itu dia datang."

Netra bulat Aire membelalak lebar, menatap Shall dengan ribuan pertanyaan menyeruak dalam kepala. Panik. Awal pertemuannya dengan Shall bukanlah sesuatu yang menakutkan, justru sebuah takdir yang buatnya memutuskan untuk tetap hidup hingga sekarang.

"Aku takut, Shall," lirih Aire. "Kurasa, aku mulai dekat dengan kematianku. Mungkin iblis Gom itu—"

"Tidak akan kubiarkan!" geram Shall. "Karena kamu yang mengalahkannya di masa lalu. Jika kita menemukan galeri berdarah, kau mungkin akan ingat bagaimana cara mengalahkannya. Sebelum dia tau bahwa aku telah bebas dari guci."

Lagi. Shall menyeret pergelangan Aire. Gadis itu sedikit berlari, tinggalkan jejak di antara pasir pantai yang kemudian terhapus oleh ombak.

Bukannya takut, Aire justru tertawa, sembari menatap cakrawala sesekali, perhatikan bintang-bintang yang berkedip bergantian. Langkahnya terhenti, buat Shall sedikit mengguncang pegangannya, tetapi Aire tak bergerak, seolah terpaku pada pemandangan di depannya.

Don't Let Me Love You (End)Where stories live. Discover now