20. Cetak Biru

1 1 0
                                    


Aire mengehembuskan nafas panjang, lalu berjalan mendahului Shall, kembali lewati jalanan perumahan elit yang terasa lebih panjang dan membosankan.

Masih tak mengerti, tentang dunia yang tiba-tiba berubah dan menjadi lebih modern, sementara faktanya kaum iblis tidak sepenuhnya punah. Ada ribuan manusia terjerat perjanjian benang iblis tak kasat mata, juga dendam yang masih mengawang di atas cakrawala.

"Aire, kamu darimana saja?" Nyonya Hong berlarian mendekat, lalu mendekap tubuh mungil putrinya yang semakin kurus dari hari ke hari.

Aire tidak sakit, ia juga cukup tidur. Hanya, akhir-akhir ini pola makannya terganggu, pikiran kacau. Memikirkan bagaimana cara mengalahkan Gom, juga menjaga Shall agar tak jatuh sebagai iblis sepenuhnya setelah membalaskan seluruh dendamnya.

"Aku berjalan-jalan."

"Astaga, pakaianmu basah. Mama sangat cemas, ayo pulang dan keringkan dirimu. Jangan sampai anak kesayangan Mama ini demam."

Dengan kasar Aire menghempaskan tangan mamanya, berjalan mendahului perempuan itu dengan dada bergemuruh dalam degup jantung tak terkendali. Nafas tercekat, mata memerah, lalu tetesan bening menuruni pipi.

Nyonya Hong panik melihat putri kesayangannya menangis sesenggukan layaknya bocah. Menghadang di depan, lalu menangkup pipi tirus gadis itu.

Sekali lagi Aire memberontak dari pegangan Mamanya. Ia mengabaikan perempuan itu, berjalan lebih cepat, berlari tinggalkan apa yang selama ini dicarinya—perhatian dan kasih sayang.

Manusia tak pernah merasa puas. Benar. Awalnya Aire merasa cukup dengan perlakuan palsu kedua orang tua yang berada dalam hipnotis dan sihir Shall, tetapi semakin lama hatinya teriris melihat ilusi yang tak pernah ada itu. Mengingat bagaimana Aire selalu dikambinghitamkan, bagaimana dua orang itu tak pernah menghargai presensinya kecuali di depan publik.

"Aku muak dengan kehidupan dan omong kosong ini. Apa yang salah dengan aku?" gerutu Aire sepanjang langkah memasuki rumah, menuju kamarnya. "Kenapa dadaku terasa bergemuruh setiap berada di dekat Shall? Lalu seketika merasa kosong di saat seperti ini. Hampa. Tidak ada yang berwarna, kecuali Shall menyentuh dengan sihirnya."

"Kau mencintaiku?"

Langkah Aire spontan terhenti, jemari menyentuh kening yang tak sengaja membentur dada Shall. Diam bergeming. Aire mendekatkan tubuhnya, memeluk pria iblis itu dengan erat.

Aire dapat merasakan dengan jelas, bahkan degup tak karuan dari dadanya itu semakin nyata. Sementara ia sama sekali tak menemukan kehidupan dalam  dada Shall. Hangat, tetapi begitu sepi tanpa detak jantung. Mati.

"Jadi kita akan membiarkan Gom menguasai Gimpo? Jika begitu kuat, mungkin dia juga bisa menghancurkan Eden setelah membunuhku."

"Tapi bagaimana Shall? Kita tidak tau apa yang bisa kita gunakan untuk mengalahkannya," pasrah Aire. Gadis itu sibuk melepas gelang iblis yang hanya memberi jarak atas dirinya dan Shall.

Gadis itu tersentak, kala pergelangan tangan terasa hangat karena genggaman lembut tangan Shall. Pria iblis itu membawanya memasuki kamar, menuju jendela.

"Bagaimana kalau kita pergi ke Eden untuk mempersiapkan rencana?"

Dengan cepat Aire mengangguk dengan senyum lebar. Dengan penuh semangat dan langkah terburu, sosok itu mengambil kain bermotif kotak-kotak dengan warna biru muda dari dalam lemari, lalu meraih keranjang rotan yang telah dipersiapkan berserta isinya dari atas meja belajar.

"Mari menggambar cetak biru dengan cara menyenangkan!"

Shall tak menjawab, masih menatap intens pada Aire yang memasukan beberapa kertas karton biru ke dalam ransel lilacnya, juga pewarna.

Don't Let Me Love You (End)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن