13. Senyum Di Antara Senja

5 1 0
                                    

Bagi Aire, tak ada lagi yang bisa diandalkan selain Kakek. Pria rimpuh itu mengetahui banyak hal tentang iblis pun keturunan manusia terpilih yang memiliki kemampuan bertarung di atas rata-rata, juga mampu kendalikan keris bintang.

Gadis itu menatap Kakek dengan penuh harap. Pria tua itu menyerah akan tubuhnya yang semakin kurus akhir-akhir ini. Bahkan sosok yang kerap ke hutan untuk mencari rotan pun kini hanya diam di rumah dan makan menggunakan hasil panggilan penduduk desa yang mendapat gangguan dari arwah atau semacamnya.

"Shall dan aku terhubung dalam benang takdir, Kek. Kami adalah satu pasangan. Sayangnya, dia adalah iblis, dan aku adalah manusia. Aku tidak mengerti tapi Shall bilang—"

"Ini bencana," ucap pria sepuh itu, panik. "Terjadi lagi. Shall akan menjadi lebih jahat dari yang kau bayangkan. Penduduk Gimpo berada dalam masalah besar!"

"Tapi ini bukan sepenuhnya salahku, Kek. Aku memang terlahir dengan benang merah yang terhubung pada Shall."

"Sayangnya, setiap mahkluk yang bereinkarnasi akan tetap memiliki sifat yang sama. Pilihannya berada dalam dirimu, Aire. Untuk mengirim Shall ke neraka, atau mempertahankan dia untuk kepentinganmu sendiri."

Aire menggeleng pelan. Ia mendengar cerita tentang perempuan mirip dirinya di masa lalu, bagaimana sosok itu memanipulasi benang merah dan menghubungkannya pada Shall. Eria mengendalikan Shall dengan racun dalam permennya, membuat pria iblis itu jatuh cinta dan melakukan segalanya demi dirinya.

"Aku bukan perempuan jahat itu!" pekik Aire. "Aku tidak mungkin mengkhianati kerajaan hanya karena keinginan sendiri, aku juga tidak mungkin memaksa Shall untuk menjadi milikku dan melakukan segalanya demi aku. Karena itu, beri tahu aku di mana keris bintang itu berada, aku akan memotong benang merah yang menghubungkan kami."

Kakek tersenyum tipis, menepuk pundak kiri Aire. "Tidak ada takdir yang bisa terpotong, kecuali kamu melakukan bunuh diri."

"Tapi Shall bilang bisa! Ini harus bisa!"

Gadis itu jatuh terduduk, menatap pergelangan tangannya yang kembali mulus. Tak ada benang merah, atau bekas terbakar. Namun, Aire dapat merasakan bahwa ikatan takdir itu nyata. Semakin mereka coba memotong takdir, semakin dekat dan menyusut benang itu.

"Katakan padaku, Kek. Di mana keris bintang itu berada!" parau Aire.

Air mata meleleh, turun basahi pipi. Hancur. Aire telah membayangkan kehidupan yang indah bersama pasangan hidupnya suatu hari nanti, berjalan di pantai sembari berpegang tangan, tinggal dalam satu rumah, melakukan banyak hal bersama. Namun, takdir berkata lain, bahwa yang menjadi takdirnya adalah seorang pria iblis licik.

"Baiklah." Pria sepuh dengan rambut yang sepenuhnya memutih itu menghembuskan napas panjang. "Keris bintang berada di sebuah tempat yang sangat gelap, tetapi terdapat setitik cahaya. Ketika berada di tempat itu, setengah tubuh terendam air, tapi kau masih bisa bernapas."

"Tempat apa itu?"

"Kakek menyerah pada Shall. Di malam gerhana, Kakek memutuskan untuk tidak membunuh Shall, karena dia terlalu kuat. Gimpo akan hancur jika Kakek mengusiknya. Kau juga, lebih baik diam dan lihat apa yang akan dia lakukan."

"Kau bukan kakek," lirih Aire. Gadis itu menggeleng pelan. "Kakek selalu bersemangat, Kakek memberitahu aku segalanya tentang iblis dan arwah. Juga, semua cerita tentang kehebatannya melawan iblis. Namun, mengapa sekarang—"

"Setiap orang bisa berubah," gumam Kakek. "Lagi pula, Shall memang penguasa Gimpo."

Aire embuskan napas, menatap hambar pada bubur kesukaannya yang terlihat tak menarik. Kakek jelas berubah, tak ada semangat dan keyakinan. Mungkin karena umur, atau sesuatu telah terjadi, Aire hanya bisa menerka-nerka.

Don't Let Me Love You (End)Where stories live. Discover now