10. Ingatan Iblis Pendendam

5 2 0
                                    

AIRE menahan tangan kakek yang mendorong punggungnya untuk pergi dari pekarangan rumah. Pria sepuh itu bersikeras ingin mengusirnya. Tentu saja Aire curiga. Pria itu sendiri yang memintanya untuk datang dan mencari keris bintang, lalu kini mengusirnya begitu saja? Bukankah pria itu sendiri yang ingin dibantu?

Berbagai macam pertanyaan memenuhi kepala Aire. Kedua tangan gadis itu memeluk jaketnya, menahan hawa dingin yang menyelimuti tubuh ringkih itu. Ia kembali menoleh ke sumur, kakek tidak lagi berada di sana. Bulu kuduk Aire berdiri, ia bisa merasakan kehadiran Shall dari angin yang berhembus pelan dan menyentuh lembut pipi tirusnya. Aire memejam, yakin sosok itu berdiri di hadapannya saat ini.

"Aku tau kamu di sana," ujar Aire yang berbalik, lalu berlari sekuat tenaga.

Hanya dengan satu jentikan jari, Shall dapat muncul di hadapan Aire dan menghalangi langkah sosok yang tengah meringis sembari menahan rasa perih di pergelangan tangannya. Langkah Aire terhenti dengan napas yang terengah-engah. Ia tahu Shall berada sedikit jauh di depannya. Pria itu berjalan mendekat, sementara Aire menahan tangan kanan yang memiliki bekas melintang di pergelangannya.

"Ini, tanda seperti milik Hara."

Keringat dingin bercucuran di pelipis gadis itu saat Shall berdiri di hadapannya tanpa sebuah ekspresi. Tenggorokan seolah terasa kering dengan tubuh yang mulai bergetar cemas.

"Tinggallah di Eden. Tidak ada kesedihan dan ketakutan di sana," bisik Shall.

Aire menggeleng pelan, masih bergeming. "Biarkan aku mengambil jiwamu dengan manis, Manusia Payah. Aku sangat menyukai permen buatanmu, tapi kau malah mengkhianatiku."

Seolah terkunci, Aire tak bisa menggerakkan kaki untuk menjauh, bahkan seluruh tubuhnya seolah membeku. Shall memegang pundaknya dengan satu tangan, sementara satu lainnya mendorong tengkuk untuk memaksakan sebuah ciuman.

"Ayo pergi yang jauh bersamaku!"

Shall spontan membuka mata. Sekilas ingatan kembali, seperti potongan puzzle yang acak. Pakaian kuno bak seorang putri kerajaan membuat iblis itu yakin sosok dalam ingatannya itu adalah seorang perempuan terhormat. Namun, siapa? Sebuah permen terlezat yang pernah Shall rasakan adalah buatan sosok manis mirip dengan Aire itu, gadis dengan pakaian kuno yang selalu tersenyum padanya.

"Racun!" Shall menghempaskan tubuh ringkih Aire hingga terjerembab ke jalanan. "Permen berbentuk cinta yang kamu berikan padaku itu adalah racun."

Aire memiringkan kepala, bingung. Ia meneguk ludah kasar, mengusir rasa takut demi bertanya. "Memangnya iblis bisa keracunan? Kau bahkan tidak hidup."

Benar. Aire tak salah tentang ucapannya. Namun, Shall menyadari bahwa ia telah mengulang takdir yang sama sekali lagi dengan memakan permen berwarna merah yang berasal dari darah Aire.

Pergelangan tangan Aire semakin memerah, bekas seperti terbakar api itu menjadi semakin nyata. Benang merah yang mengikat mereka terlihat, membuat gadis itu seketika menatap Shall.

"Dasar Manusia Payah. Larilah jika kamu takut!"

"Karena aku ingin tahu, mengapa kamu tidak membunuhku dan kakek di saat gerhana bulan tadi," lirih Aire.

Shall terdiam. Apa yang diucapkan kakek itu benar. Memang bukan sosok itu yang bisa mengirimnya ke neraka, tetapi ingatan singkat itu seolah berbisik pada Shall bahwa sekali lagi takdir kembali terulang.

"Shall, katakan sesuatu? Kenapa kamu selalu tidak membunuhku di saat ada kesempatan?"

Tak ada jawaban dari pria iblis itu, kecuali tatapan tajam yang mengintimidasi. Sunyi. Malam membeku, bahkan waktu seolah terhenti. Udara dingin menusuk kulit, meski Aire memakai jaket. Bahkan, kini tubuh rampingnya sedikit menggigil kedinginan.

Don't Let Me Love You (End)Onde histórias criam vida. Descubra agora