12. Takdir Yang Dimanipulasi

2 1 0
                                    

SHALL menarik setoples penuh permen dari dekap Aire. Dengan tergesa dibukanya tutup dan mengambil permen berbentuk bintang dengan warna hijau bening. Toxic. Senyum hangat menghias, tetapi Shall juga tak bodoh untuk tahu bahwa Aire coba menemukan cara yang lebih licik dari caranya. Jika Jmereka tak saling menyukai atau bahkan menginginkan satu sama lain untuk menghilang, mengapa harus terikat dalam sebuah benang takdir? Sebuah hubungan yang tak dapat didefinisikan dengan mudah.

“Cuih!”

Pria iblis itu menatap kesal pada Aire yang terkekeh geli, lalu mengambil toples berisi permen itu kembali. Shall mengusap mulut yang terasa asam setelah memuntahkan permen aneh buatan Aire yang sebelumnya disebut obat.

“Itu adalah permen yang kamu makan ratusan tahun lalu, permen asam.” Iblis itu menatap intens pada Aire, memaksakan penjelasan lebih dari bibir mungil itu. “Kau tidak sadar, bukan? Sebenarnya rasa permen yang membuatmu gila itu adalah asam, bukan manis.”

Netra legam pria iblis itu membola tak terima, rahangnya mengeras dengan kedua tangan mengepal geram. Awan mendung bergumul, langit yang semula cerah berubah gelap. Suara tiupan angin basah nan dingin yang cukup kencang menyapa rungu, Aire sedikit terhuyung hingga jatuh menabrak dada Shall. Tetes butiran bening turun dari langit, perlahan-lahan kemudian menjadi semakin lebat. Gemuruh terdengar dari kejauhan, semakin dekat nan nyaring.

Aire mengusap maniknya sembari terisak pelan. Pandangan tertutup kabut, sementara tubuhnya kedinginan karena hujan angin. Takut, cemas, kalut, semua rasa terraduk bersamaan badai yang menggulung dirinya.

“Kamu salah jika bermain-main denganku!”

Aire berbalik kala rungunya mendapat bisikan dari bekalang. Netranya tak menemukan siapapun, tetapi suara familiar itu meyakinkannya bahwa Shall berada di sekitar. Dekapannya pada toples berisi permen itu semakin erat. Ia menoleh cepat ke sekeliling sembari mencari keberadaan sosok pria iblis itu.

Bukan tanpa sebab Aire meyakini tentang permen asam yang kemungkinan dimakan Shall ratusan tahun lalu. Beberapa hari, Aire habiskan untuk berdiam diri di perpustakaan desa demi mencari tahu tentang asal usul budaya membuat permen di desa mereka.

Penduduk gimpo masih sangat primitif. Tinggal dalam sebuah rumah sederhana, mengutamakan penghasilan dengan menjual hasil melaut dan bertani. Namun mereka juga tak pernah melupakan adat untuk membuat permen setiap tahunnya. Hingga melakukan ritual bulan purnama dan gerhana bulan di kediaman masing-masing.

Semua data tentang desa telah disimpan lama dalam sebuah perpustakaan yang dijaga beberapa petugas. Tak sulit untuk menemukannya, tetapi sulit untuk menyelidiki kronologi tahunan yang begitu banyak. Aire bersikeras berjuang demi menemukan fakta tentang sosok pria iblis itu.

“Bukankah perempuan yang membuat permen itu adalah Eria si pengkhianat kerajaan?!”

Gadis itu mengabaikan jantung yang berdegup kencang. Antara takut dan gugup akan apa yang mungkin dilakukan pria iblis itu padanya. Di antara kabut, Shall berjalan dengan wajah serius dan tatapan mematikan, menatap lurus pada Aire dengan pedang terhunus di tangan kanan. Aire meringis, spontan memegang pergelangan tangan yang memerah terbakar.

“Siapa yang menyebut Eria pengkhianat?”

“Shall, sadarlah! Bukan aku yang meracunimu, tapi perempuan itu.”

Badai semakin kuat, menandakan emosi Shall yang kian memburuk. Manik mata yang semula gelap kini sepenuhnya memerah, bekas luka di mata kirinya pun ikut memerah selayaknya luka baru. Shall memang terlihat menyeramkan dengan bekas luka itu, tetapi kini terlihat jauh lebih meyeramkan dengan bekas luka dan mata yang memerah.Gadis itu memejam erat, kala Shall mengangkat pedangnya semakin tinggi. Petir menggelegar di belakang sosok pria iblis itu, menyala terang dengan bunyi nyaring memekkan telinga.

Don't Let Me Love You (End)Where stories live. Discover now