06 • Hallo Galuh, Welkom Victor

102 23 0
                                    

Teringat pada penghujung jalan setapak di sisi pasar, tidak jauh dari stasiun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Teringat pada penghujung jalan setapak di sisi pasar, tidak jauh dari stasiun. Lerajee menemukan sebuah harta tak terkira, berisi puluhan lukisan tak bernama. Seorang pria yang dulu pernah menyapanya, kini semakin tua dengan bulu wajah memutih dibiarkan memanjang. Ingat pula saat ia diberi seperangkat alat melukis dan disitulah awal mulai Lerajee sering datang. Di siang hari saat Kile tidak menyadari.

"Mengapa menangis, nona manis?" tanya Pria tua itu.

Lerajee tersenyum dan memasuki gubuk itu. Ia sudah cukup puas menangis sepanjang perjalanan di kereta. Tapi mungkin matanya masih nampak sembab sekarang. Terlepas dari itu, Lerajee datang karena ingin lebih lama sebelum benar-benar hilang tujuan dan memutuskan pulang. Bisa jadi Kile tengah menunggunya di rumah.

Gubuk itu sederhana, tapi menarik perhatiannya. Kali pertama bagi Lerajee tertarik akan sesuatu. Kenapa ada seni saat tak ada yang menghargai? Itulah kalimat tanya yang pernah terlontar dari bibir sang nona. Pria tua itu seraya menjawab dengan pemikiran pribuminya.

"Jika seni tak berharga? Mengapa nona masih mengenakan warna cerah dan renda? jika seni tak berharga? mengapa bangsa nona datang dan menjara?"

Itu benar. Lerajee seketika sadar. Kau lahir dari setengah darah penjajah.

Papamu sendiri seorang pembunuh. Ingatkan Lerajee jika Kile memiliki bermacam senjata yang bisa digunakan untuk membunuh bahawannya. Tapi tak tahu pasti, berapa banyak manusia yang Kile bunuh. Berdosa atau tidak berdosa.

Ah, terlalu banyak narasi menyedihkan dari Lerajee bukan.

"Saya ingin melukis di rumah," ucap Lerajee.

"Tentu!"

"Terima kasih."

Kile mungkin tidak langsung kembali ke rumah. Untuk apa? Menghiburnya? yang benar saja.

Kini berlanjut, gadis itu menenteng kanvas serta peralatan melukisnya, berjalan menyisiri pasar. Hingga lupa bahwa lukanya masih memerah. Dari sana, dari bertahun-tahun lalu. Hari terburuk yang tidak akan pernah Lerajee lupakan. Kini tangannya seolah mati rasa. Lukanya hanya seperti gelitikan semata. Tidak peduli seberapa banyak darah yang menodai lengan gaunnya. Tapi Lerajee rasa, tidak ada gunanya menangis dan menjerit kesakitan. Seperti bertahun-tahun lalu.

"Nona! tunggu!"

"Nona!"

"Raya!"

Lerajee berbalik, mendapati seorang dengan flat cap dan kemeja sederhana.

"Setidaknya obati luka itu."

Gadis itu baru teringat. Ia meringis pelan dan menyembunyikan lengan kirinya di balik badan.

Hiruk pikuk keramaian pasar siang itu, seolah menyamarkan keduanya. Bagaimana seorang pemuda pribumi yang menatap gadis peranakan kompeni. Dialah Lerajee yang dipenuhi misteri.

LerajeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang