11 • Slechte Papa

122 25 3
                                    

Lerajee tidak akan pernah bisa lepas dari setumpuk buku dan kanvas di sela harinya

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Lerajee tidak akan pernah bisa lepas dari setumpuk buku dan kanvas di sela harinya. Tidak ada yang bisa dilakukan karena pendidikannya diputus oleh Kile. Lerajee semakin pendiam, bahkan tidak memiliki teman. Terkadang merasa bosan, terkadang pula enggan untuk bertemu banyak orang. Terutama para sekelompok noni-sinyo yang seolah lupa daratan dan tidak pernah melihat lautan.

Lerajee pernah bertemu dengan mereka. Hidupnya tidak jauh berbeda. Diabaikan oleh orang-orang Eropa, tapi malah membalas hal yang sama pada pribumi. Mereka lupa bahwa ada setengah darah pribumi dalam dirinya. Sementara Lerajee, tidak bisa memilih. Semua tidak lebih baik menurutnya.

Sampai sebuah sebuah suara membuyarkan atensinya pada serangkaian kalimat pada buku yang dibacanya.

"Goedemorgen!"

Gadis itu berjalan keluar dari tempatnya.

Padahal, seseorang itu sudah tiba dari lama. Dia hanya tengah menatap pada seorang manusia berdarah Roell yang duduk di sisi jendela dengan buku di tangan. Terhalang dinding dan teralis besi. Terlalu fokus hingga tidak menyadari kehadiran orang di depan rumahnya. Sembari tersenyum, mengangkat sekeranjang susu serta krim.

"Danke."

Gadis itu menerimanya. Lalu memanggil seorang jongos untuk menukar dengan keranjang kosong serta uang.

"Kapan liburan akan berakhir?" Lerajee bertanya.

"Sepertinya dalam minggu ini."

Gadis itu mengangguk dan tersenyum. "Saya ingin bersekolah lagi. Sayangnya saya tidak bisa bertahan lebih lama."

Galuh duduk pada pagar beton yang mengelilingi teras. Cerita itu sudah menyebar ke seluruh sekolah. Dalam beberapa minggu saja, Lerajee sudah mendapat dua surat peringatan karena melawan anak-anak yang mengganggunya. Lerajee tidak salah, Lerajee bahkan tidak melukai mereka, tetapi posisinya selalu serba salah. Pihak sekolah tidak pernah mengambil keputusan secara bijak, hingga akhirnya Kile memutuskan untuk menghentikan pendidikan Lerajee.

Galuh juga tidak jauh berbeda. Dia diperlakukan bak sampah, karena seorang pribumi. Tapi, dia tetap bertahan. Sebab tidak semua pribumi bisa duduk di kelas yang sama dan mendapatkan pendidikan yang setara dengan para Eropa. Dan Galuh adalah satu di antara mereka yang beruntung.

Mereka tinggal di sebuah tanah nusantara yang mana mereka harus memenuhi beberapa standart serta syarat untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai. Sementara Belanda membawa dua dampak sekaligus. Positif dan Negatif.

Tatanan itu masih ada. Tingkatan itu masih jelas tercetak. Tapi, berkat penjajahan, dunia baru akan terbuka.

Dunia fana yang disebut tanah merdeka. Saat kedaulatan itu tiba, tidak akan ada nama Belanda yang mengiringinya.

Tapi-- bagaimana nasib mereka yang tidak bisa memilih?

"Lerajee, wie is daar?"

Galuh berdiri dari posisinya dan menatap pada sosok Kile yang berdiri di ambang pintu utama rumahnya. Sosoknya memang tampan, tapi Galuh terlanjur tidak mengakuinya.

LerajeeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt