02| Trojan Neptunus

151 30 19
                                    

Hujan berhenti dan menyisakan dingin yang mengisi ruang temaram di kamar itu. Jiyan baru saja merebahkan diri ke kasur empuknya. Mencari kehangatan di balut selimut tebal berwarna abu.

Pandangannya menengadah ke langit-langit ruangan. Nafasnya panjang terdengar berhembus.

'Gue ngga yakin?' jawaban yang terlontar dari Mars dengan wajah datarnya itu, kembali terlintas diotaknya.

Hati Jiyan bergemuruh tidak nyaman,  ketika mengingatnya. Seolah Mars tidak bisa mengerti perasaan Jiyan, dan dengan mudahnya berkata demikian. Seakan dia tidak perduli jika itu mampu menumbangkan kepercayaan Jiyan akan keberhargaan dia selaku adik kandung Mars di bagi Mars sendiri.

'Maksud lo nanya gini buat apa? Bandingin gue sama si Saka?' sebuah tanya Mars yang tidak terduga bagi Jiyan.

Apa iya dia salah bertanya seperti tadi? Sampai bisa-bisanya Mars justru bertanya demikian?

Jiyan tidak merasa itu sebuah hal berlebihan, apalagi diketahui kondisi  hubungan antara Jiyan dan Mars yang seperti ini. Harusnya Mars bisa paham. Tapi Jiyan tidak bisa memaksa jika akhirnya Mars tidak mengerti. Bahkan hanya di ditanya balik seperti tadi saja, Jiyan sudah kehabisan kata-kata. Apalagi harus memaksa Mars supaya paham, Jiyan tidak bisa.

Jiyan merasa, Mars tidak suka ditanyai oleh dirinya. Atau bahkan kehadirannya tidak diinginkan oleh Mars, mungkin.

'Udah jangan ngambek,' ujar Mars tadi.

Senyum Mars saat itu, rasanya sudah Jiyan lupa. Sebab sudah sekian lama, Mars tidak senyum setulus itu. Apalagi dengan Jiyan, jangankan untuk senyum seperti itu, sekedar mengobrol panjang saja tidak pernah. Percakapan yang Jiyan coba bangun ketika berkesempatan untuk berdua dengan Abangnya itu, selalu musnah harapannya. Baik karena jawaban singkat dan seadanya yang Mars berikan atau malah lebih parah berujung pada kesalah pahaman.

Jiyan tidak benar-benar tahu, apa kesalahannya. Atau karena memang pertumbuhan usia mempengaruhi psikologis seseorang hingga membentuk kepribadian Mars yang baru? Mars yang dingin seperti sekarang? Jiyan tidak paham mengenai hal semacam itu. Tapi dulu, saat Jiyan berusia lima, dan Mars berada 3 tahun diatasnya, Jiyan dan Mars merupakan kakak beradik yang begitu akur. Dan Jiyan bisa merasakan hangatnya pelukan Mars ketika menenangkan dirinya yang  menangis saat jatuh pada waktu belajar sepeda untuk pertama kalinya. Atau ketika Mars menjadi tameng kala dia diejek saat menginjak bangku sekolah kelas dua. Tapi semuanya berubah saat tak lama sosok kepala keluarga berpulang kepada sang pencipta.

Jiyan tidak pernah membayangkan bahwa semuanya akan sirna. Kehangatan itu, sudah Jiyan lupa karena terlalu lama menghilang. Apalagi , Jiyan terbiasa dihadapkan dengan dinginnya sosok Mars yang tidak dapat dijangkaunya.

Terlebih sejak kejadian hampir sepuluh tahun lalu. Semuanya semakin jauh dari bayangan Jiyan yang memimpikan kehidupan bahagia yang sederhana, cukup berada di keluarga harmonis dan lengkap.

Jiyan awalnya sempat mengira, Mars yang sekarang mungkin memang sudah menjadi tabiatnya pendiam dan dingin tak tersentuh. Tapi, melihat tadi, perlakuannya terhadap Juna, membuat Jiyan menyadari satu hal bahwa Mars masih memiliki jiwa hangat seorang Kakak dalam dirinya. Namun, hal tadi juga membuat Jiyan sakit bersamaan, karena.... Kenapa dengan Juna dia bisa seperti itu? Sedangkan dengan Jiyan Mars bagaikan orang asing yang berstatus tidak lebih dari orang yang saling mengetahui nama satu sama lain.

Setitik air matanya turun berbarengan dengan rinai yang kembali menghujami tanah diluar sana. Jiyan memiringkan tubuhnya, menarik selimut lebih tinggi. Jiyan menghapus air mata itu dengan segera. Meskipun bahkan jejak lelehan air matanya hilang, tapi lukanya tetap menganga. Jiyan tidak bisa memungkiri. Lalu anak itu menghembuskan nafasnya panjang. Jujur saja ini.... terlalu menyesakkan.

My Mars and My Universe [Slow Update]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu