05| Uranus dan Perisainya.

124 24 12
                                    

"Bang?" Satu panggilan menguap diantara sunyi malam yang dia lewati.

Juna sudah kedua kalinya mengudarakan panggilannya pada Mars, yang mengantarkannya pulang. Juga jauh sebelum itu, dia sudah sering melempar tanya yang akhirnya pun berujung sama. Mars kadang mengabaikannya, atau paling besar dia merespon hanyalah menjawab singkat saja. Hal itu terjadi setelah nuansa tegang sempat hadir kala dia belajar matematika tadi. Lebih tepatnya saat sosok Jiyan meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya dengan terpaksa.

Juna bisa menangkap perubahan signifikan dari ekspresi wajah Mars. Sebelum kepergian Jiyan dan sesudahnya.

Juna tak paham kenapa justru kekosongan itu, keheningan itu berhasil membuat rasa perih tak nyaman yang menyiksa dadanya. Dia seperti tak suka dengan Mars yang mengabaikannya.

"Bang Le? Are you okay? Lo kepikiran Bang Jiyan ya?" Tanya lagi dengan sedikit lebih keras, memecah hening didekat pekarangan mendekati rumahnya.

Harusnya, Juna tak perlu lagi mempertanyakan itu. Karena bagaimanapun Jiyan adalah adiknya Mars. Sudah sewajarnya jika Mars akan begitu khawatir. Dan itulah yang Juna begitu irikan dari seorang Jiyan. Dimana dia bisa memiliki Abang yang cukup menyenangkan sesuai tipe Juna yang tidak terlalu suka orang yang urakan, seperti Saka. Tapi juga pengertian, tak seperti Raga yang selalu mengekang.

Meskipun tak menampik, dia juga masih tak terima juga kala Saka lebih dekat dengan Jiyan juga pada akhirnya. Karena layaknya ikatan yang spesial, harusnya Juna-lah yang lebih dekat dengan Saka selaku adik kandungnya. Mau seberapa menyebalkanya sosok Saka itu.

Dan saat itu, tanya Juna akhirnya mendapatkan jawaban setelah didiamkan cukup lama. Bahkan langkahnya sudah sampai didepan gerbang rumahnya.

"Gue nggak mikirin Jiyan kok, dia cuma mimisan doang tadi. Jadi nggak perlu dikhawatirkan. Cuma lagi mikirin beberapa tugas kuliah,"

Juna ingin mempercayai jawaban Mars yang teralun pelan saat itu. Tapi, melihat bagaimana Mars mengatakan dengan mata yang tak tenang, seolah menyampaikan ragu diantara kalimatnya membuat Juna akhirnya memaksa diri mengangguk dan mengiyakan, tanpa sepatah kata lagi setelahnya.

"Ya udah, gue pulang duluan, Bang. Thanks udah ajarin gue logaritma sama anter gue pulang,"

Selanjutnya, Mars tersenyum seperti biasanya. Tapi, kali ini senyum itu terasa berbeda di rasa Juna. Sedikit ada rasa kecewa, tapi tak mampu mendorong Juna untuk berkata jujur tentang perasaannya, yang bahkan masih begitu sulit dia terjemahkan untuk dirinya sendiri.

★★★★

Jiyan menarik nafasnya panjang, meregangkan sendi-sendi di tubuhnya setelah menjadi orang yang paling terakhir keluar dari kelas, setelah menyelesaikan evaluasi Fisika. Bukan karena dia sangat-sangat meneliti tentang caranya mengerjakan soal sehingga lamban menyelesaikan evaluasinya, karena sejujurnya dia akan dengan senang hati mengumpulkan lembar kerjanya, asal kertas kosong yang disediakan sebagai lembar jawaban miliknya itu terisi dengan jawaban yang setidaknya sedikit-sedikit dia paham. Tak perlu seratus persen sempurna, karena dia tahu Bu Bertha akan sangat menghargai proses pengerjaan soal, meskipun hasil akhir tidak benar sempurna. Itu yang dia suka dengan cara mengajar Bu Bertha, guru Fisikanya.

Perutnya yang sudah keroncongan minta diisi menuntut Jiyan bergerak menuju kantin menyusul teman-temannya. Ditambah lagi pening yang mendera kepala membuat Jiyan butuh makanan untuk mengisi stamina.

Tapi baru melangkah beberapa meter dari depan kelas, pandangan Jiyan berputar hebat hingga hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Dia berpegang tembok kelas sebelah untuk menjaga diri agar tetap bisa berdiri tegak disana. Sebelah tangannya memijat pangkal hidungnya.

My Mars and My Universe [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang