03| Merkurius.

110 24 22
                                    

"Lain kali jangan kebanyakan main, Ka. Si Juna perlu lo awasin," ujar Mars sembari fokus mengetik, mengerjakan tugas di laptopnya.

Saka yang baru saja datang dan duduk di sofa, bersebrangan dengan Saka, melorot dari duduknya. Terasa ada rasa malas yang tersampaikan dari hembusan nafas panjangnya.

"Dia yang ngotot ikut OSIS, Le. Gue juga udah bilang kalau dia ada apa-apa biar chat gue, biar gue jemput. Udah diingetin juga biar nggak memaksakan diri. Tapi emang ambis anaknya, nanti gue tegur, gue yang diomelin Papa-Mama," jawab Saka.

"Ya jangan dimarahin, dia itu mau berusaha, dia ambis karena punya mimpi yang besar. Cukup Lo dukung dan jagain. Bukan di biarin sendiri,"

Ucapan Mars hanya ditanggapi senyuman senyap oleh Saka. Bisa-bisanya Mars berkata seolah dia sudah menjadi kakak yang baik, padahal apa yang dia lihat dari sikapnya ke Jiyan juga tidak pernah demikian.

Dibalik batas ruangan, Jiyan menelan salivanya setelah menarik nafas pelan. Berusaha membuang rasa sesak yang beberapa sekon lalu menyelinap ke dalam dadanya, bersamaan dengan obrolan Mars dan Saka yang menyapa telinga. Seperhatian itu Mars terhadap sepupunya.

Bagaimana pun remaja berusia 16 tahun ini masih memiliki ego yang kadang kala menuntut untuk dikabulkan. Dia tidak ingin mendengar ini lagi. Ego-nya menuntut Jiyan untuk tidak membiarkan obrolan itu berlanjut. Segera dia melangkah keluar dari persembunyian, mengalihkan pembicaraan.

"Bang, ayo!" Ujar Jiyan, yang membuat Mars dan Saka menoleh seketika.

Sepersekian detik selanjutnya Mars mengalihkan pandangannya kembali ke layar laptopnya.

"Jangan malam-malam pulangnya, nanti-"

"Nggak usah khawatir, gue cuma mau beli mie ayam. Dan Bunda tau gue mau keluar, gue bisa jaga diri sendiri," datar Jiyan, memotong perkataan Mars yang berkata dengan masih terfokus ke monitor laptop.

Mars kaget kala Jiyan berani memotong perkataannya, yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan. Mars melirik sekilas ke arah Saka dengan tatapan yang sulit diartikan.

Setelah berkata demikian, Jiyan melangkah keluar mendahului Saka yang kebingungan mencerna ucapan Jiyan dan tatanan Mars yang dilayangkan padanya. Sejenak tadi, ucapan Jiyan terdengar tak bersahabat, dan sekilas lirikan mata Mars menyiratkan keanehan yang membuat Saka menangkap satu sinyal. Hubungan keduanya tidak baik-baik saja.

Saka kemudian bangkit dari duduknya, dia menatap Mars yang sudah kembali fokus ke laptopnya seolah tak terjadi apa-apa.

"Gue bisa jaga, Jiyan. Dan, kayaknya gue harus balikin omongan lo ke gue sebelumnya. Bukannya gue sok pinter karena nyeramahin lo yang 3 tahun lebih tua dari gue. Tapi, lo sama gue itu sama tapi nggak serupa aja. Lihat adek lo sesaat, Le. Itu saran gue, gue pamit," ujar Saka sebelum akhirnya dia memutuskan pergi.

Saka terpaku disana. Segalanya seperti ikut terhenti bersama waktu seketika itu. Pikirannya tidak bekerja, tubuhnya tak bergerak. Yang terjadi hanya telinga Mars mendengar perkataan Saka dengan penuh keseriusan, dengan dadanya bergemuruh tak nyaman.

★★★★

Kapan pikiran Jiyan tidak sepenuh ini? Tidak pernah. Hampir di setiap hal yang terjadi berkaitan dengan Mars, Jiyan tidak pernah tenang setelahnya.

Kadang Jiyan tidak habis pikir dengan cara bersikap Mars. Dia juga tidak tahu sampai kapan dia dipaksa menerima perlakuan seperti ini? Dia tidak bisa menjamin dia akan terus bersabar. Akan ada waktunya sabarnya habis, dan amarahnya akan membuncah. Layaknya bom waktu yang siap meledak kapan saja. Jiyan bisa saja meluapkan emosi tertahan kapanpun kala dia tidak mampu lagi untuk bertahan.

My Mars and My Universe [Slow Update]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora