16|Lubang Hitam

95 24 18
                                    

Jiyan berharap, kekacauan semalam hanyalah mimpi yang akan hilang saat dia kembali membuka mata. Tapi, faktanya saat retinanya kembali bekerja, setelah sebelumnya tenggelam dibalik kelopak matanya yang lelah akibat terlalu banyak menumpahkan airnya diiringi sakit bersamanya, semuanya adalah nyata.

Jiyan sempat berharap hubungannya dengan Mars akan bisa membaik seperti Juna dan Saka kemarin. Dia masih sempat berpikir bahwa kesempatan itu ada.

Tapi ucapan Mars semalam telah meluluhlantakkan semua harapan itu. Kata yang terucap terdengar sarat kekecewaan. Dari sekian banyak keributan dan kata-kata pedas yang keluar dari mulut Mars, yang semalam itu lebih dari sekedar pedas. Tapi itu menyakitkan. Setelah itu bahkan Mars belum juga pulang hingga dini hari datang. Membuat Jiyan tidak bisa tidur, menunggu dengan cemas tapi juga merasa bersalah.

Membuat Jiyan kembali gelisah dan takut, meskipun sebelumnya dia telah meluapkan emosionalnya dipelukan Bunda, dan berhasil mendapatkan ketenangan sesaat setelah itu.

Jiyan tidak ingat jam berapa semalam dia tidur, sebab sesungguhnya terlalu penuh pikirannya hingga tak terbayang dia bisa terlelap. Sampai tiba-tiba dia terbangun di kala pagi menjelang, dan hal yang pertama dia lakukan adalah mencari kakaknya. Dia keluar dari kamar dengan tergesa-gesa menuju kamar Mars.

Kamar tidur yang jarang sekali dia masuki itu masih tertutup rapat pintunya, seperti biasa. Tanpa pikir panjang, dia membukanya. Tapi, nihil. Dia tidak menemukan presensi Mars disana. Tatanan ranjang dan segala isinya masih terlihat rapih dan dingin, tak tersentuh. Jiyan menghembuskan nafasnya panjang.

"Ada apa Ji," Bunda yang tiba-tiba hadir dibelakangnya membuyarkan pikiran Jiyan.

Jiyan menoleh dengan cepat, menatap Bunda yang sepertinya sedang bersiap untuk ke dapur menyiapkan sarapan.

"Bunda..." Jiyan tertunduk, " Bang Mars nggak Pulang?" tanya Jiyan kemudian.

Kedua tangan Bunda menangkup wajah Jiyan, menaikkan pandangan Jiyan, membuat Jiyan terang-terangan beradu tatap dengan Bunda.

Tapi alih-alih menjawab, Bunda justru balik melempar tanya pada Jiyan.

"Kenapa? Khawatir ya?"

Jiyan tidak menjawab, dia terdiam sesaat dengan mata yang terasa memanas. Dia hanya sanggup mengangguk kecil.

"Nggak usah khawatir, Abang cuma memerlukan waktu untuk menenangkan diri. Bunda, percaya Abang nggak akan bertindak gegabah. Nanti siang Bunda akan tanyakan ke beberapa teman Abang yang Bunda tau, terus Bunda juga bakal tanya ke beberapa teman Bunda, yang juga dosen di kampus Abang,"

Bunda berkata dengan suara yang begitu lembut, matanya kian menyiratkan bahwa dia yakin dengan pemikirannya. Hingga Jiyan tak bisa berbuat banyak selain menyetujui, meskipun kekhawatiran itu mustahil dia singkirkan.

Semarah itukah Mars hingga memerlukan waktu lebih lama untuk menenangkan diri?

"Mau sekolah atau nggak nih? Kalau mau sekolah, ayo cepetan siap-siap!" tanya Bunda kemudian.

Jiyan mengangguk, dia kemudian berjalan menuju kamarnya setelah mendapat perintah dari Bunda. Kali ini dia percayakan harapnya tentang Mars pada Bunda. Karena jujur, lebih buruk dari Juna pada Saka, Jiyan lebih tidak mengenal Kakaknya. Dia tidak pernah mengenal Mars sejak usianya belasan. Satu-satunya yang paling mengenal Mars sekarang, hanyalah Bunda. Bunda yang paling mengetahui apa yang Mars suka dan tidak suka atau bagaimana dunia Mars selama ini.

Lantas seusai itu, sarapan dirumah ini, yang semula memang sudah begitu dingin, dengan tidak hadirnya Mars kian menciptakan beku dalam sejarah hidup Jiyan.

Kini dalam perjalanan menuju sekolah, Bunda sengaja tidak terlalu banyak berbicara, sebab dia tahu Jiyan sedang dalam moodnya, anak itu pasti sedang memikirkan Abangnya. Hingga satu kalimat mengudara kala perjalanan menuju sekolah hampir sampai.

My Mars and My Universe [Slow Update]Where stories live. Discover now