15 | Badai besar.

130 22 25
                                    

Harusnya, Ilham bisa pulang langsung kerumahnya yang tak jauh dari warung kopi. Harusnya, di jam yang merujuk ke angka delapan malam, Ilham sudah ada di rumah bersama keluarganya.

Nyatanya, saat langit pekat itu datang dan menyelimuti bumi, Ilham masih ada di jalan, menyusuri aspal hitam dengan Jiyan diboncengannya.

Cemas dan tak enak hati menguar dalam dada Jiyan. Merasa bersalah atas kerepotan yang Ilham alami karena harus mengantarnya pulang, meskipun Jiyan sempat berkata jika dia ingin pulang dengan taksi saja. Membebaskan Ilham jika ingin langsung pulang kerumahnya. Tapi, Ilham bersikukuh mengantar, katanya, ada amanah Saka yang dia jaga. Ditambah lagi, karena rasa pertemanan yang Ilham taruh pada Jiyan mendorongnya semakin bulat keputusannya.

Akhirnya Jiyan hanya mampu menerima, dengan ucapan terima kasih yang dia sampaikan pada Ilham. Bukan hanya terkait keputusannya untuk tetap mengantar Jiyan, tapi juga atas kesediaannya untuk menganggap Jiyan teman alih-alih sekedar adik kelas saja.

Di antrian lampu merah itu, saat semua kendaraan berhenti dan menunggu kesempatan untuk kembali melanjutkan perjalanan, tercipta jeda waktu sesaat. Kala sahutan klakson tak sabaran dari pengendara lain berbunyi, samar terdengar panggilan dari arah belakang menyapa pendengaran Jiyan yang tertutup helm.

"Jiyan!!" Panggilan itu semakin mengeras, dan membuat Jiyan yakin bahwa dirinya sedang dipanggil, pun akhirnya menoleh.

Mata sipitnya lantas terbuka lebih lebar, iris-nya menemukan sosok Mars ada dibelakang membuat Jiyan merasa kalangkabut dalam duduknya diatas motor Ilham.

Sayang, belum sampai Jiyan bertindak sesuatu, motor Ilham sudah dulu berjalan. Dibarengi dengan kendaraan lain yang bergerak didekatnya.

Masih dengan bolak balik menengok kebelakang, dia melihat Mars yang mengejar.

"Bang, berhenti Bang!" Pinta Jiyan panik pada Ilham.

Sedikit bingung dengan tingkah Jiyan, Ilham menuruti dan menepikan motornya. Hingga sesaat kemudian ada seorang pengendara motor lain yang berhenti juga di belakangnya.

Jiyan segera turun, kala pengendara motor dibelakang Ilham juga turun menghampiri mereka.

"Ji? Kenapa? Kenal?" tanya Ilham dengan bingung.

Jiyan terlihat tak tenang. Pikiran nya tak tenang saat Mars berjalan mendekat dengan raut wajah murka.

"Abang kandung gue, Bang. Bang Mars," ucap pelan Jiyan yang masih bisa terdengar oleh Ilham.

"Ayo pulang!!" Dengan tarikan kasar yang Jiyan katakan Abangnya itu menyeret Jiyan menuju motornya.

Ilham juga seorang Abang, dia juga punya adik. Meskipun usianya jauh terpaut, tapi Ilham tahu, tidak seharusnya Jiyan diperlakukan seperti itu. Ilham pun mengejar.

"Tunggu!"

Langkah mars dan Jiyan terhenti seketika. Saat Ilham menginterupsi. Dengan tatapan mata yang tajam, Mars melempar pandangan.

"Maaf, Bang. Tapi lo nggak seharusnya sekasar itu sama Jiyan,"

"Lo siapa ngatur-ngatur gue? Lo nggak perlu ikut campur! Lo nggak gue kasih tonjok aja, harusnya lo bersyukur!" Ketus Mars.

Lantas dia kembali melanjutkan langkahnya.

"Gue tau lo, Abangnya Jiyan. Tapi bukan karena lo Abang jadi seenaknya sama adek lo!" Teriak Ilham.

Sungguh Ilham tidak peduli jika dia dianggap aneh oleh orang yang melintas. Yang terpenting, suaranya tidak tenggelam diantara suara kendaraan di jalanan disekitarnya. Agar Mars tahu, apa yang dia lakukan itu tidak semestinya.

My Mars and My Universe [Slow Update]Where stories live. Discover now