04| Asteroid

149 23 22
                                    

Dimeja belajarnya yang terisi penuh dengan tumpukan buku tak tertata, Jiyan mengusak rambutnya frustasi. Sungguh, mengerjakan tugas Fisika benar-benar menguras energi untuk berpikir. Tersisa satu soal yang sedari belum terjawab. Belum terpecahkan dan belum Jiyan selesaikan kendati sudah berulang kali Jiyan coba dengan cara yang telah dijelaskan gurunya, melihat catatan dan mengikuti panduan buku paket dan referensi.

"Nih makin kesini makin lucu aja! Perasaan contoh soal dikelas sama soal yang dikasih kok beda ya? Ini gue yang nggak ngerti atau Bu Bertha yang hebat banget bikin soalnya sih??" Gerutunya.

Sesaat dia menilik pada ponselnya yang sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Terhitung dua jam sudah dia mengerjakan tugas itu. Otak Jiyan sempat berpikir untuk meminta bantuan Mars untuk mengerjakan tugas, tapi dia urungkan.

Setiap kali dia memikirkan cara itu, dia terlalu malas dan segan untuk melakukannya. Apalagi ketika mengingat saat dia diajari beberapa soal integral dulu saat menjelang ujian kenaikan kelas sebelas. Dimana Mars mengajarinya dengan penuh tekanan, menatap Jiyan dengan intimidasi. Membuat Jiyan semakin sulit mengerti apa yang Mars ajarkan, bahkan dia sampai ketakutan untuk kembali meminta diajari.

Jiyan mengusak rambutnya asal-asalan lagi.

"Ah! Singa nungging emang! Mana besok evaluasi syaratnya nih tugas lagi!! Mampus gue...." teriaknya frustasi.

Kadang Jiyan benci beberapa keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang paling dia hindari. Seperti tidak cukup dunia memaksa Jiyan menerima kenyataan pahit dari pasrah dengan masalah keluarganya sendiri.

Ketika itu, tiba-tiba pintu diketuk dari arah luar, membuat Jiyan terpaksa bangkit membukakan pintu. Yang tertangkap matanya kala itu adalah sosok Bunda yang berdaster dengan rambut terikat anggun.

"Tidur?" Tanya Bunda.

"Apanya? Lagi nugas iya," Jiyan mengerucutkan bibirnya.

"Bunda pikir habis tidur. Habis rambutnya acak-acakan. Pusing banget ya? Susah ?" Bunda membelai surai Jiyan dengan gerak lembut menata rambut itu agar lebih rapi.

Jiyan berjalan kembali menuju meja belajarnya. Tak pelak Bunda membuntuti, menilik tugas yang sedang Jiyan kerjakan.

" Kalau Bunda boleh pahami sebentar, mungkin Bunda ngerti dan inget sedikit. Terus bisa ajarin kamu. Mau?"

Jiyan melirik sekilas, lantas dia menggeleng.

"Kenapa?" Tanya Bunda.

"Nggak deh Bun, nggak apa-apa," Jiyan menaruh perhatiannya kembali pada buku didepannya.

"Jangan underestimate Bunda ya? Gini-gini Bunda dulu jurusan MIPA juga waktu SMA," ujar Bunda dengan bangga.

"Iya, Bunda. Percaya kok Bunda pinter. Masa seorang dosen, lulusan strata 3 manajemen nggak pinter? Tapi, aku tau Bunda capek, lagian kalau sama Bunda nanti debat mulu kita, bahas yang lain-lain lagi,"

Begitu kira-kira bagaimana yang dulu pernah terjadi. Jiyan juga tidak mau membuat Bunda repot, setelah seharian bekerja.

"Ya udah, minta ajarin Abang ya?" Tawar Bunda.

Jiyan mengerutkan keningnya, bahkan kedua alisnya hampir bertaut sempurna. Mata menggulir malas.

"Ish, nggak ah! Aku itu nggak sepintar Juna, Bunda, yang bisa langsung paham dan cepet nangkap penjelasan yang dikasih Bang Mars. Nanti yang ada ngamuk lagi dia ngajarin aku yang rada bego ini, kayak dulu,"

Bunda merangkul kedua pundak putra bungsunya itu, dengan sedikit usapan lembut disana.

"Nggak lah, kamu juga pinter kok. Anak bunda mana ada yang nggak pinter? Abang juga nggak akan marah, percaya deh!" Hibur Bunda.

My Mars and My Universe [Slow Update]Where stories live. Discover now